Selasa, 06 November 2012

Tugas Resume Soiologi Agama


Resume Buku Manusia Jawa dan Gunung Berapi
Prepsepsi dan Sistem Kepercayaan
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sosilogi Agama
Dosen Pengampu: Drs. Ma’arif Jamuin, M. Si.

Disusun oleh:
Suranto ( G 000 100 068)

TARBIYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2012

 
Pendahuluan
 Alhamdulilah puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan segala anugrahnya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas ini. Kemudian tak lupa semoga salam serta salawat selalu tercurahkan kepada baginda Rasul Muhammad SAW yang telah menjadi inspirasi bagi saya. Serta semua pihak yang menbatu saya dalam menyelesaikan tuga ini yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
Pada kesempatan ini saya akan meresum tentang buku yang berjudul Manusia Jawa dan Gunung Merapi Persepsi dan Siatem Keparcayaan. Dalam persepsi oarng Jawa hal yang kita lihat ini seperti manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda lainnya mempunyai roh. Oleh karena itu roh-roh tersebut mempunyi kekuatan yang dasyat dan mempunyai kehendak, sehingga kalau marah bisa membahayakan manusia dan kalu gembira bisa menguntungkan manusia.
Mereka percaya bahwa roh itu bukan hanya menempati makluk hidup tetapi juga benda-benda mati, sehingga roh itu terdapat dalam batu-batuan, pohon-pohon besar, tombak, kepal manusia yang dimumi. Karena adanya kepercayaan pad roh dan hantu, timbullah paemujaan pada tempat/benda yang dianggapa dihuni roh. Dan yang dipuja agar membaas kebaikan, ada pula yang dipuja agar roh itu tidak mengganggu. Agar terhindar dari kemarahan roh/hantu biasanya diadakan ritual yang dipimpin oleh para pendeta. Adakalanya mereka membujuk roh-roh dengan mengadakan penguburan hewan/manusia yang dikubur hidup-hidup atau diambil kepalanya dan dilempar kedalam gunung manakala sebuah gunung meletus. Mereka beranggapan bahwa jika ada bencana alam berarti roh-roh alam sedang marah. Untuk selanjutnya akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.


Pembahasan
Judul: Manusia Jawa dan Gunung Merapi Persepsi dan Sistem kepercayaan
Pengarang: Lucas Sasongko Triyoga
Penerbit: Gadjah Mada University Press
Tebal: 157 halaman
  1. Data
Menurut Mulyono (1983: 53-54) dalam Lucas Sasongko Triyoga (1991: 34) sejak jaman dahulu gunung api telah menarik perhatian nenek moyang kita, teristimewa yang berkait erat dengan kepercayaan bahwa roh orang mati dianggap masih tinggal di sekeliling mereka, di pohon, di batu, di sungai, di laut, di gunung dan dianggap sebagai pelindung kuat yang dapat dimintai pertolongan. Dalam pertunjukan wayang kulit, media komunikasi dengan nenek moyang, yang timbul pertama kali pada Neolithicum atau lebih kurang 1.500 SM.

  1. Agama dan Kepercayaan
Seperti pada kebanyakan masyarakat pedesaan seperti desa wukisari, korija dan desa kawastu, penduduk di lereng selatan maupun utara Merapi mengaku memeluk besar yang diakui pemerintah RI, terutama Islam. Kenyataannya, dalam kehidupan sehari-hari mereka tidak penuh dan ketat melaksanakan dogma-dogma dan ajaran Islam. Masjid maupun langgar yang terdapat di ketiga desa lokasi penelitian sehari-harinya sepi dari orang-orang yang menunaikan ibadah, kecuali anak-anak yang mereka percaya akan adanya Tuhan, Nabi atau Rasul, akan tetapi juga percaya akan adanya makhluk-makhluk halus yang menghuni jagad raya. Mereka lebih suka jika dikatakan sebagai penganut agama Islam Jawa yang berarti memeluk agama Islam tetapi masih melakukan praktek kepercayaan (dan ini yang terpokok) terhadap mahluk halus dalam kehidupan sehari-hari. 

  1. Sistem Kepercayaan Sebagai Kerangka Adaptasi
Kalau disimak, data yang terdapat dalam buku menunjukkan bahwa tingkah laku adaptif penduduk di lereng Gunung Merapi di dasarkan pada eksistensi makhluk halus di samping manusia. Gunung Merapi dihayati tidak hanya sebagi bersifat alam murni saja, melainkan sekaligus juga bersifat alam murni dan alam adikodrati. Bersifat alam adikodrati karena Merapi dengan segala proses alamnya merupakan manifestasi dari kekuatan makhluk halus.
Untuk mempertahan hidupnya penduduk terpaksa membudidayakan sumber daya alam yang disuguhkan Merapi, seperti tanah, air, hutan, dan sebagainya. Dalam hubungan dan membudidayakan sumberdaya gunung ini, penduduk mengalami bencana-bencana yang diakibatkan oleh proses alami, seperti banjir lahar, awan panas, gas beracun, hujan abu vulkanik, gempa bumi, meletus dan proses alami lainnya. Proses alami ini sulit masuk di akal dan acap kali menimbulkan krisis kehidupan bagi mereka. Pengalaman dan pengamatan mendapatkan bencana menimbulkan respon mereka, yaitu segala kekuatan alam yang ditimbulkan Merapi dipercayai berasal dari kekuatan alam adikodrati. Proses alam kemudian dipersonifikasikan sebagi para roh leluhur atau mahluk halus penghuni Merapi. Dengan lain perkataan, segala yang ada di dalam ekosistem merapi dirasakan sebagai berhayat dan berjiwa. Kepercayaan terhadap alam adikodrati inilah yang dipakai penduduk sebagi kerangka adaptasi terhadap Gunung Merapi.
Pada prinsipnya penduduk di Kawastu, Korijaya, dan Wukirsari mempercayai Gunung Merapi sebagai keramat, dan merupakan sebuah keraton mahluk halus yng mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Keraton Mataram (Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta), dan keraton makhluk halus Laut Selatan yang dipimpin oleh Kanjeng Ratu Kidul. Hubungan kekeluargaan antara ketiga keraton tersebut dikarenakan adanya perkawinan antara mereka.
Masyarakat jawa pada umumnya memandang keraton (ke-ratu-an) sebagai pusat segala acuan masyarakat dengan sentralnya raja. Kerajaan dianggap sebagai duplikat kosmos dan raja dianggap sebagai pengejawantahan Tuhan, pencipta kehidupan. Oleh sebab itu, keraton dianggap sebagai tempat suci dan keramat. Dari keraton mengalir kesuburan, keamanan dan kesejahteraan, yang kesemuanya ditunjukkan untuk menjaga keseimbangan kosmos. Pandangan ini diambil alih oleh penduduk setempat dengan mempercayai Merapi sebagai surga penantian, keraton makhluk halus tempat tinggal para roh leluhur beserta segala makhluk halus.
Dalam mitos asal-usul Gunung Merapi yang beredar dikalangan penduduk Kawastu dan Korijaya dilukiskan bahwa Keraton Merapi dirajai bersama oleh pasangan kakak-beradik, Empu Rama dan Permadi, sedangkan menurut penduduk Wukirsari, keraton ini dirajai oleh Kyai Merlapa. Kemungkinan, pada awal mulanya, mitos akan tokoh dan raja di Merapi ini sama di ketiga desa tersebut, tetapi kemudian diceritakan oleh penduduknya dengan berbagai varian, dikurangi atau ditambai disesuaikan dengan kebudayaan setempat. Kemungkinan pula, adanya perbedan-perbedaan itu disebabkan intensitas kedekatan relasi antara ketiga desa tersebut dengan keraton Mataram.
Mitos dan keperceayaan terhadap Merapi ini merupakan ungkapan kebijaksanaan hidup penduduk setempat terhadap lingkungan setempat mereka hidup, yaitu suatu bentuk penghormatan kepada para roh leluhur atau makhluk-makhluk halus penghuni Merapi, dengan harapan mendapatkan balas jasa berupa keselamatan, kesuburan dan kesejahteraan. Penghormatan kepada para roh leluhur atau makhluk-makhluk halus ini meningatkan mereka bahwa akhirnya manusia akan mati dan menjadi roh seperti para leluhur. Oleh karena itu, dalam hidupnya manusia harus mengembangkan kehidupan yang baik terhadap lingkungan sesamanya, alam dan alam adikodrati. Hal ini terungkap dalam kepercayaan mereka akan hirarki dan penempatan roh leluhur di Kraton Mahluk Halus Merapi, sesuai dengan kelakuan dan tindakan serta pekerjaanya selama hidup.
  1. Upacara dan Fungsinya
Upacara atau selamatan yang diadakan secara turun-temurun dimaksudkan untuk memperoleh keselamatan lahir dan batin dari gangguan mahluk halus penghuni gunung. Bagi mereka, alam semesta tidak hanya dihuni mahluk manusia saja tetapi juga mahluk halus yang berasal dari roh mansia mati, dhanhyang, dan lelembut. Fungsi utama dari selamatan yang diadakan adalah untuk menetralisir bencana yang datangnya dari Kerton Mahluk Halus Merapi. Melalui mahluk halus pengganggu dapat dinetralisir, bahkan dapat berbalik menjadi penolong. Dalam selamatan terjadi perdamaian antara manusia dengan mahluk halus yang diwujudkan dalam bentuk makan berama.
Terdapat berbagai jenis selamatan yang dilakukan penduduk, seperti selamatan yang berkisar pada krisis kehidupan, dari kelahiran hingga dengan kematian atau life cycle, selamatan memperingati hari-hari raya Islam dan selamatan lainnya yang umum dilakukan oleh masyararakat pedesaan Jawa melibatkan seluruh warga desa, serta selamatan yang diadakan berkenaan dengan peristiwa dan keperluan tertentu dai individu atau keluarga.
Selamatan yang diadakan berkenaan dengan peristiwa dan keperluan tertentu dari keluarga atau individu, biasanya dilakukan di rumah keluarga atau individu yang bersangkutan dan mempunyai pola sama dengan selamatan rutin yang diadakan di rumah Kepala Desa. Dalam tulisan ini, hanya dibicarakan selamatan yang langsung berhubungan dan ditujukan kepada mahluk-mahluk halus penghuni Merapi, yang dibagi kedalam: (1). Selamatan rutin yang diadakan seluruh penduduk, (2). Selamatan insidental yang dilakukan apabila terjadi bencana secara tiba-tiba dari mahluk halus Merapi, (3). Selamatan labuhan ke Gunung Merapi dari Sultan Hamengkubuwono yang diadakan di desa Korijaya.

2. Metode
Penelitian yang diangkat ke dalam tilisan ini, baik topik maupun cara pelaksanaanya lain dari yang lain. Pertama, hal ini merupakan studi perbandinagan yang jarang ditemui pada studi masyarakat Jawa. Drs. Triyoga membandingkan pandangan dari desa-desa yang berbeda dilereng gunung Merapi. Besarnya perbedaan yang mengejutkan antara desa-desa ini menunjukkan bahwa pendekatan ini sabagai lawan dari pendekatan yang lebih biasa dalam mempelajari dan kemudian menggambarkan “norma” orang Jawa harus lebih digunakan.
Penelitian Drs. Triyoga yang menggunakan teknik antropologi klasik juga tidak biasa dilakukan orang, termasuk tinggal lama di daerah penelitian dan berpartisipasi setiap hari di dalam kehidupan desa. Metodologi ini mempunyai banyak keuntungan, antara lain data yang diperoleh secara sambil lalu di luar wawancara atau survei hanya dengan tinggal bersama responden. Seperti yang dilakukan Drs. Triyoga dalam bab pendahuluan, dan seperti yang akan dibuktikan banyak antripolog yang lain, data kebetulan ini sering merupakan data paling penting. Satu-satunya kelemahan metodologi ini ialah biayanya, yan berupa waktu peneliti: dari metodologi yang ada untuk meneliti masyarakat manusia, observasi partisipan yang berkepanjangan oleh sesorang peneliti merupakan yang paling memakan waktu. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh studi ini, metode ini menghasilkan data, dan kedalaman serta sumbangan yang berarti bagi ilmu pengetahuanyang tidak dapat diperoleh dengan metode lain.

3. Teori
Menurut saya, teori yang berada di dalam buku ini ada tiga yaitu:
a. Teori Animisme
Menurut EB, Taylor teori ini menganggap bahwa setiap benda memiliki roh. Gunung, bongkahan batu besar, pohon dan sebaginya memiliki roh yang dapat mempengaruhi terhadap kehidupan manusia. Oleh karena iru, diperlukan upacara untuk benda-benda yang dianggab memiliki roh tersebut.
b. Teori Dinamisme
Meneurut RR. Marett teori dinamisme yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari teori Animisme Taylor, Marett menganggab bahwa setiap benda memiliki kekuatan ghaib yang dapat mempunyai kehidupan manusia.
    1. Teori W. Robertson Smith Tentang Upacara Sesaji.
Dalam teori ini Robertson Smith mengemukakan tiga gagasan penting yang menambah pengertian kita mengenai azas-azas religi dan agama pada umumnya. Gagasan yang pertama mengenai soal bahwa di samping system keyakinan dan doktrin, system upacara juga merupakan suatu perwujudan dari religi atau agama yang memrlukan studi dan analisa yang khusus. Hal ini yang menarik perhatian Robertson Smith adalah bahwa dalam banyak agama upacara itu tetap, tetapi latar belakang, keyakinan, maksud atau doktrinnya berbeda.
Gagasan kedua adalah bahwa upacara religi atau agama, yang biasanya dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersama-sama mempunyai fungsi social untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. Para pemeluk suatu religi atau agama memang ada menjalankan kewajiban mereka untuk melakukan upacaraitu dengan sunguh-sungguh, tetapi tidak sedikit pula yang hanya melakukannya setengah-setengah saja. Motivasi mereka tidak terutama untuk berbakti kepada dewa atau Tuhannya, atau untuk mengalami kepuasan agama secara peribadi, tetapi juga karena mereka menganggap bahwa melakukan upacara adalah suatu kejiban social.
Gagasan Robertson Smith ketiga adalah teorinya mengenai fungsi upacara sesaji. Pada pokoknya upacara seperti itu, di mana manusia menyajikan sebagian dari seekor binatang, terutama darahnya, oleh Robertson Smith juga dianggab sebagai suatu aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas dengan dewa atau para dewa. Dalam hal itu dewa atau para dewa dipandang juga sebagai warga komunitas.


Kesimpulan
Beberapa kesimpulan dapat ditarik dari uraian dan pembahasan hasil penelitian ini. Pertama, Gunung Merapi dipercayai oleh penduduk setempat sebagai sebuah keraton mahluk halus tempat tinggal para leluhur, dhanhnyang dan lelembut. Ia juga dianggap sebagai surga pangratunan atau tempat penantian, bagi roh yang selama hidupnya banyak berbuat kebajikan. Segala aktivitas Merapi berkaitan erat dengan alam adikodrati. Sistem kepercayaan terhadap Merapi memberikan kesadaran bagi penduduk setempat bahwa di alam semesta terdapat kekuatan-kekuatan adikodrati di mana mereka ikut berpartisipasi dan ikut menghayati kekuatan-kekuatan tersebut. Singkatnya, sistem kepercayaan terhadap Merapi digunakan penduduk setempat sebagai landasan untuk beradaptasi, atau sebagai pedoman hidup dalam berinteraksi dengan sesamanya, dalam berinteraksi dan mendayagunakan sumber daya Merapi, dan dalam berinteraksi dengan alam adikodrati.
Kedua, kepercayaan semacam ini juga diyakini oleh pihak Keraton Mataram, yang salah satunya dimanifestasikan dalam bentuk upacara Labuhan ke Gunung Merapi. Pengaruh Kraton terlihat jelas dengan adanya perbedaan mengenai tokoh-tokoh mistis mahluk halus penghuni Merapi, Bukti pengaruh kraton di Desa Korijaya yang mempunyai intensitas relasi dengan Kasultanan Yogyakarta. Desa ini mempunyai mitologi Merapi paling rinci dan lengkap.
Ketiga, sistem kepercayaan terhadap Merapi, tersamasuk di dalamnya mitos dan selamatan, berfungsi membantu dan mendukung nilai-nilai mendasar untuk bersikap dan bertindak terhadap ekosistem Merapi. Sistem kepercayaan ini juga berfungsi membantu dan menjamin berbagai penjelasan kepada penduduk setempat, khususnya mengenai hakekat kehidupan dan ekosistem Merapi yang mereka hadapi sehari-hari, dan yang diri mereka sendiri merupakan sebagian daripadanya. Hal ini menyebabkan kedudukan dan peranan mereka di dalam alam semesta menjadi jelas, sehingga segala peristiwa dan situasi kehidupan yang menimpa diterima secara masuk akal. Dengan demikian sisem kepercayaan terhadap Merapi menciptakan dan menjamin kondisi yang mempertebal rasa aman bagi penduduk setempatuntuk tetap bermukim dan bercocok tanam di lereng gunung yang berbahaya itu.