Resume Buku Manusia Jawa
dan Gunung Berapi
Prepsepsi dan Sistem
Kepercayaan
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sosilogi Agama
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sosilogi Agama
Dosen Pengampu: Drs.
Ma’arif Jamuin, M. Si.
Disusun
oleh:
Suranto ( G 000 100
068)
TARBIYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2012
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2012
Pendahuluan
Alhamdulilah puji syukur
saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan segala
anugrahnya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas ini. Kemudian tak
lupa semoga salam serta salawat selalu tercurahkan kepada baginda
Rasul Muhammad SAW yang telah menjadi inspirasi bagi saya. Serta
semua pihak yang menbatu saya dalam menyelesaikan tuga ini yang tidak
bisa saya sebutkan satu persatu.
Pada kesempatan ini saya
akan meresum tentang buku yang berjudul Manusia Jawa dan Gunung
Merapi Persepsi dan Siatem Keparcayaan. Dalam persepsi oarng Jawa
hal yang kita lihat ini seperti manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan
benda-benda lainnya mempunyai roh. Oleh karena itu roh-roh tersebut
mempunyi kekuatan yang dasyat dan mempunyai kehendak, sehingga kalau
marah bisa membahayakan manusia dan kalu gembira bisa menguntungkan
manusia.
Mereka percaya bahwa roh
itu bukan hanya menempati makluk hidup tetapi juga benda-benda mati,
sehingga roh itu terdapat dalam batu-batuan, pohon-pohon besar,
tombak, kepal manusia yang dimumi. Karena adanya kepercayaan pad roh
dan hantu, timbullah paemujaan pada tempat/benda yang dianggapa
dihuni roh. Dan yang dipuja agar membaas kebaikan, ada pula yang
dipuja agar roh itu tidak mengganggu. Agar terhindar dari kemarahan
roh/hantu biasanya diadakan ritual yang dipimpin oleh para pendeta.
Adakalanya mereka membujuk roh-roh dengan mengadakan penguburan
hewan/manusia yang dikubur hidup-hidup atau diambil kepalanya dan
dilempar kedalam gunung manakala sebuah gunung meletus. Mereka
beranggapan bahwa jika ada bencana alam berarti roh-roh alam sedang
marah. Untuk selanjutnya akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.
Pembahasan
Judul: Manusia Jawa dan
Gunung Merapi Persepsi dan Sistem kepercayaan
Pengarang: Lucas Sasongko
Triyoga
Penerbit: Gadjah Mada
University Press
Tebal: 157 halaman
- Data
Menurut
Mulyono (1983: 53-54) dalam Lucas Sasongko Triyoga (1991: 34) sejak
jaman dahulu gunung api telah menarik perhatian nenek moyang kita,
teristimewa yang berkait erat dengan kepercayaan bahwa
roh orang mati dianggap masih tinggal di sekeliling mereka, di pohon,
di batu, di sungai, di laut, di gunung dan dianggap sebagai pelindung
kuat yang dapat dimintai pertolongan. Dalam pertunjukan wayang kulit,
media komunikasi dengan nenek moyang, yang timbul pertama kali pada
Neolithicum atau lebih kurang 1.500 SM.
- Agama dan Kepercayaan
Seperti
pada kebanyakan masyarakat pedesaan seperti
desa wukisari, korija dan desa kawastu, penduduk di lereng selatan
maupun utara Merapi mengaku memeluk besar yang diakui pemerintah RI,
terutama Islam. Kenyataannya, dalam kehidupan sehari-hari mereka
tidak penuh dan ketat melaksanakan dogma-dogma dan ajaran Islam.
Masjid maupun langgar yang terdapat di ketiga desa lokasi penelitian
sehari-harinya sepi dari orang-orang yang menunaikan ibadah, kecuali
anak-anak yang mereka percaya akan adanya Tuhan, Nabi atau Rasul,
akan tetapi juga percaya akan adanya makhluk-makhluk halus yang
menghuni jagad raya. Mereka lebih suka jika dikatakan sebagai
penganut agama Islam Jawa yang berarti memeluk agama Islam tetapi
masih melakukan praktek kepercayaan (dan ini yang terpokok) terhadap
mahluk halus dalam kehidupan sehari-hari.
- Sistem Kepercayaan Sebagai Kerangka Adaptasi
Kalau
disimak, data yang terdapat dalam buku menunjukkan bahwa tingkah laku
adaptif penduduk di lereng Gunung Merapi di dasarkan pada eksistensi
makhluk halus di samping manusia. Gunung
Merapi dihayati tidak hanya sebagi bersifat alam murni saja,
melainkan sekaligus juga bersifat alam murni dan alam adikodrati.
Bersifat alam adikodrati karena Merapi dengan segala proses alamnya
merupakan manifestasi dari kekuatan makhluk halus.
Untuk
mempertahan hidupnya penduduk terpaksa membudidayakan sumber daya
alam yang disuguhkan Merapi, seperti tanah, air, hutan, dan
sebagainya. Dalam hubungan dan membudidayakan sumberdaya gunung ini,
penduduk mengalami bencana-bencana yang diakibatkan oleh proses
alami, seperti banjir lahar, awan panas, gas beracun, hujan abu
vulkanik, gempa bumi, meletus dan proses alami lainnya. Proses alami
ini sulit masuk di akal dan acap kali
menimbulkan krisis
kehidupan bagi mereka. Pengalaman dan pengamatan mendapatkan bencana
menimbulkan respon mereka, yaitu segala kekuatan alam yang
ditimbulkan Merapi dipercayai berasal dari kekuatan alam adikodrati.
Proses alam kemudian dipersonifikasikan sebagi para roh leluhur atau
mahluk halus penghuni Merapi. Dengan lain perkataan, segala yang ada
di dalam ekosistem merapi dirasakan sebagai berhayat dan berjiwa.
Kepercayaan terhadap alam adikodrati inilah yang dipakai penduduk
sebagi kerangka adaptasi terhadap Gunung Merapi.
Pada
prinsipnya penduduk di Kawastu, Korijaya,
dan Wukirsari mempercayai Gunung Merapi sebagai keramat, dan
merupakan sebuah keraton mahluk halus yng mempunyai hubungan
kekeluargaan dengan Keraton Mataram (Kasultanan Yogyakarta dan
Surakarta), dan keraton makhluk halus Laut Selatan yang dipimpin oleh
Kanjeng Ratu Kidul. Hubungan kekeluargaan antara ketiga keraton
tersebut dikarenakan adanya perkawinan antara mereka.
Masyarakat
jawa pada umumnya memandang keraton (ke-ratu-an) sebagai pusat segala
acuan masyarakat dengan sentralnya raja.
Kerajaan dianggap sebagai duplikat kosmos dan raja dianggap sebagai
pengejawantahan Tuhan, pencipta kehidupan. Oleh sebab itu, keraton
dianggap sebagai tempat suci dan keramat. Dari keraton mengalir
kesuburan, keamanan dan kesejahteraan, yang kesemuanya ditunjukkan
untuk menjaga keseimbangan kosmos. Pandangan ini diambil alih oleh
penduduk setempat dengan mempercayai Merapi sebagai surga penantian,
keraton makhluk halus tempat tinggal para roh leluhur beserta segala
makhluk halus.
Dalam
mitos asal-usul Gunung Merapi yang beredar dikalangan penduduk
Kawastu dan Korijaya dilukiskan bahwa Keraton Merapi dirajai bersama
oleh pasangan kakak-beradik, Empu Rama dan
Permadi, sedangkan menurut penduduk Wukirsari, keraton ini dirajai
oleh Kyai Merlapa. Kemungkinan, pada awal mulanya, mitos akan tokoh
dan raja di Merapi ini sama di ketiga desa tersebut, tetapi kemudian
diceritakan oleh penduduknya dengan berbagai varian, dikurangi atau
ditambai disesuaikan dengan kebudayaan setempat. Kemungkinan pula,
adanya perbedan-perbedaan itu disebabkan intensitas kedekatan relasi
antara ketiga desa tersebut dengan keraton Mataram.
Mitos
dan keperceayaan terhadap Merapi ini
merupakan ungkapan kebijaksanaan hidup penduduk setempat terhadap
lingkungan setempat mereka hidup, yaitu suatu bentuk penghormatan
kepada para roh leluhur atau makhluk-makhluk halus penghuni Merapi,
dengan harapan mendapatkan balas jasa berupa keselamatan, kesuburan
dan kesejahteraan. Penghormatan kepada para roh leluhur atau
makhluk-makhluk halus ini meningatkan mereka bahwa akhirnya manusia
akan mati dan menjadi roh seperti para leluhur. Oleh karena itu,
dalam hidupnya manusia harus mengembangkan kehidupan yang baik
terhadap lingkungan sesamanya, alam dan alam adikodrati. Hal ini
terungkap dalam kepercayaan mereka akan hirarki dan penempatan roh
leluhur di Kraton Mahluk Halus Merapi, sesuai dengan kelakuan dan
tindakan serta pekerjaanya selama hidup.
- Upacara dan Fungsinya
Upacara atau selamatan yang diadakan secara turun-temurun dimaksudkan
untuk memperoleh keselamatan lahir dan batin dari gangguan mahluk
halus penghuni gunung. Bagi mereka, alam semesta tidak hanya dihuni
mahluk manusia saja tetapi juga mahluk halus yang berasal dari roh
mansia mati, dhanhyang, dan lelembut. Fungsi utama dari selamatan
yang diadakan adalah untuk menetralisir bencana yang datangnya dari
Kerton Mahluk Halus Merapi. Melalui mahluk halus pengganggu dapat
dinetralisir, bahkan dapat berbalik menjadi penolong. Dalam selamatan
terjadi perdamaian antara manusia dengan mahluk halus yang diwujudkan
dalam bentuk makan berama.
Terdapat berbagai jenis selamatan yang dilakukan penduduk, seperti
selamatan yang berkisar pada krisis kehidupan, dari kelahiran hingga
dengan kematian atau life cycle, selamatan memperingati hari-hari
raya Islam dan selamatan lainnya yang umum dilakukan oleh
masyararakat pedesaan Jawa melibatkan seluruh warga desa, serta
selamatan yang diadakan berkenaan dengan peristiwa dan keperluan
tertentu dai individu atau keluarga.
Selamatan
yang diadakan berkenaan dengan peristiwa dan keperluan tertentu dari
keluarga atau individu, biasanya dilakukan di rumah keluarga atau
individu yang bersangkutan dan mempunyai pola sama dengan selamatan
rutin yang diadakan di rumah Kepala Desa. Dalam tulisan ini, hanya
dibicarakan selamatan yang langsung berhubungan dan ditujukan kepada
mahluk-mahluk halus penghuni Merapi, yang dibagi kedalam: (1).
Selamatan rutin yang diadakan seluruh penduduk, (2). Selamatan
insidental yang dilakukan apabila terjadi bencana secara tiba-tiba
dari mahluk halus Merapi, (3). Selamatan labuhan ke Gunung Merapi
dari Sultan Hamengkubuwono yang diadakan di desa Korijaya.
2. Metode
Penelitian
yang diangkat ke dalam tilisan ini, baik topik maupun cara
pelaksanaanya lain dari yang lain. Pertama, hal ini merupakan studi
perbandinagan yang jarang ditemui pada studi masyarakat Jawa. Drs.
Triyoga membandingkan pandangan dari desa-desa yang berbeda dilereng
gunung Merapi. Besarnya perbedaan yang mengejutkan antara desa-desa
ini menunjukkan bahwa pendekatan ini sabagai lawan dari pendekatan
yang lebih biasa dalam mempelajari dan kemudian menggambarkan “norma”
orang Jawa harus lebih digunakan.
Penelitian
Drs. Triyoga yang menggunakan teknik antropologi klasik juga tidak
biasa dilakukan orang, termasuk tinggal lama di daerah penelitian dan
berpartisipasi setiap hari di dalam kehidupan desa. Metodologi ini
mempunyai banyak keuntungan, antara lain data yang diperoleh secara
sambil lalu di luar wawancara atau survei hanya dengan tinggal
bersama responden. Seperti yang dilakukan Drs. Triyoga dalam bab
pendahuluan, dan seperti yang akan dibuktikan banyak antripolog yang
lain, data kebetulan ini sering merupakan data paling penting.
Satu-satunya kelemahan metodologi ini ialah biayanya, yan berupa
waktu peneliti: dari metodologi yang ada untuk meneliti masyarakat
manusia, observasi partisipan yang berkepanjangan oleh sesorang
peneliti merupakan yang paling memakan waktu. Namun, seperti yang
ditunjukkan oleh studi ini, metode ini menghasilkan data, dan
kedalaman serta sumbangan yang berarti bagi ilmu pengetahuanyang
tidak dapat diperoleh dengan metode lain.
3. Teori
Menurut saya, teori yang
berada di dalam buku ini ada tiga yaitu:
a. Teori Animisme
Menurut
EB, Taylor teori ini menganggap bahwa
setiap benda memiliki roh. Gunung, bongkahan batu besar, pohon dan
sebaginya memiliki roh yang dapat mempengaruhi terhadap kehidupan
manusia. Oleh karena iru, diperlukan upacara untuk benda-benda yang
dianggab memiliki roh tersebut.
b. Teori Dinamisme
Meneurut RR. Marett teori dinamisme yang merupakan perkembangan lebih
lanjut dari teori Animisme Taylor, Marett menganggab bahwa setiap
benda memiliki kekuatan ghaib yang dapat mempunyai kehidupan manusia.
- Teori W. Robertson Smith Tentang Upacara Sesaji.
Dalam teori ini Robertson Smith mengemukakan tiga gagasan penting
yang menambah pengertian kita mengenai azas-azas religi dan agama
pada umumnya. Gagasan yang pertama mengenai soal bahwa di samping
system keyakinan dan doktrin, system upacara juga merupakan suatu
perwujudan dari religi atau agama yang memrlukan studi dan analisa
yang khusus. Hal ini yang menarik perhatian Robertson Smith adalah
bahwa dalam banyak agama upacara itu tetap, tetapi latar belakang,
keyakinan, maksud atau doktrinnya berbeda.
Gagasan
kedua adalah bahwa upacara religi atau agama, yang biasanya
dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat pemeluk religi atau agama
yang bersangkutan bersama-sama mempunyai fungsi social untuk
mengintensifkan solidaritas masyarakat. Para pemeluk suatu religi
atau agama memang ada menjalankan kewajiban mereka untuk melakukan
upacaraitu dengan sunguh-sungguh, tetapi tidak sedikit pula yang
hanya melakukannya setengah-setengah saja. Motivasi mereka tidak
terutama untuk berbakti kepada dewa atau Tuhannya, atau untuk
mengalami kepuasan agama secara peribadi, tetapi juga karena mereka
menganggap bahwa melakukan upacara adalah suatu kejiban social.
Gagasan
Robertson Smith ketiga adalah teorinya mengenai fungsi upacara
sesaji. Pada pokoknya upacara seperti itu, di mana manusia menyajikan
sebagian dari seekor binatang, terutama darahnya, oleh Robertson
Smith juga dianggab sebagai suatu aktivitas untuk mendorong rasa
solidaritas dengan dewa atau para dewa. Dalam hal itu dewa atau para
dewa dipandang juga sebagai warga komunitas.
Kesimpulan
Beberapa
kesimpulan dapat ditarik dari uraian dan pembahasan hasil penelitian
ini. Pertama, Gunung Merapi dipercayai oleh penduduk setempat sebagai
sebuah keraton mahluk halus tempat tinggal para leluhur, dhanhnyang
dan lelembut. Ia juga dianggap sebagai surga pangratunan atau tempat
penantian, bagi roh yang selama hidupnya banyak berbuat kebajikan.
Segala aktivitas Merapi berkaitan erat dengan alam adikodrati. Sistem
kepercayaan terhadap Merapi memberikan kesadaran bagi penduduk
setempat bahwa di alam semesta terdapat kekuatan-kekuatan adikodrati
di mana mereka ikut berpartisipasi dan ikut menghayati
kekuatan-kekuatan tersebut. Singkatnya, sistem kepercayaan terhadap
Merapi digunakan penduduk setempat sebagai landasan untuk
beradaptasi, atau sebagai pedoman hidup dalam berinteraksi dengan
sesamanya, dalam berinteraksi dan mendayagunakan sumber daya Merapi,
dan dalam berinteraksi dengan alam adikodrati.
Kedua,
kepercayaan semacam ini juga diyakini oleh
pihak Keraton Mataram, yang salah satunya dimanifestasikan dalam
bentuk upacara Labuhan ke Gunung Merapi. Pengaruh Kraton terlihat
jelas dengan adanya perbedaan mengenai tokoh-tokoh mistis mahluk
halus penghuni Merapi, Bukti pengaruh kraton di Desa Korijaya yang
mempunyai intensitas relasi dengan Kasultanan Yogyakarta. Desa ini
mempunyai mitologi Merapi paling rinci dan lengkap.
Ketiga,
sistem kepercayaan terhadap Merapi, tersamasuk di dalamnya mitos dan
selamatan, berfungsi membantu dan mendukung nilai-nilai mendasar
untuk bersikap dan bertindak terhadap ekosistem Merapi. Sistem
kepercayaan ini juga berfungsi membantu dan
menjamin berbagai penjelasan kepada penduduk setempat, khususnya
mengenai hakekat kehidupan dan ekosistem Merapi yang mereka hadapi
sehari-hari, dan yang diri mereka sendiri merupakan sebagian
daripadanya. Hal ini menyebabkan kedudukan dan peranan mereka di
dalam alam semesta menjadi jelas, sehingga segala peristiwa dan
situasi kehidupan yang menimpa diterima secara masuk akal. Dengan
demikian sisem kepercayaan terhadap Merapi menciptakan dan menjamin
kondisi yang mempertebal rasa aman bagi penduduk setempatuntuk tetap
bermukim dan bercocok tanam di lereng gunung yang berbahaya itu.