Kamis, 28 Februari 2013

NIKAH SIRRI

NIKAH SIRRI
76.Syaikhul Islam Rahimahullah pernah ditanya: tentang seorang laki-laki yang menikahi perempuan dengan cara “Mushafahah”, yakni: Nikah sirri yaitu nikah yang tanpa wali tanpa saksi, dengan maskawin dinar, setiap tahun setengah dinar, dan ia telah tinggal bersamanya dan mencampurinya. Apakah pernikahannya itu sah ataukah tidak? Dan apabila keduanya itu dikaruniai seorang anak apakah bias mewarisi ataukah tidah? Dan apakah keduanya kena hukuman had ataukah tidak?
Ia menjawab: sebagala puji bagi allah, apabila laki-laki itu mengawini perempuan tanpa wali dan saksi-saksi, serta merahasiakan pernikahan, maka menurut kesepakatan para Imam pernikahan itu bathil, bahkan menurut para ulama, karena
Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali.”
Hadis:
Perempuan yang mana saja kawin tanpa izin walinya maka pernikahannya Bathal, maka pernikahannya bathal, maka pernikahannya batal."1
Kedua lafadz ini ma’tsur dalam kitab Sunan dari Nabi Shallahuallahu alaihi wa Sallam. Dan beberapa orang ulama salaf mengatakan: “ Tidak ada pernikahan melainkan dengan dua saksi.” Demikian ini pendapat Abu Hanifah, syafi’I dan ahmad, sedang Malik mewajibkan meramaikan pernikahan.Pernikahan sirri sejenis pernikahan pelacur, allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
Mereka perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. “ (An-Nisa’: 25).
Maka pernikahan sirri itu termasuk jenis dzawatil akhdan (perempuan yang mempunyai laki-laki piaraan).
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
Kawinilah janda-janda di antara kamu. “ (Al-Baqarah: 221).
Dan firman-Nya:
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musrik (dengan perempuan-perempuan mukmin) sebelum mereka beriman. “ (An-Nur: 32).
Maka disyariatkan laki-laki meminang untuk mengawini perempuan-perempuan, oleh karena ini di antara ulama salaf ada yang berpendapat: bahwa perempuan itu tidak bisa menikahkan dirinya, dan sesunguhnya perempuan pelacur itu adalah yang menikahkan dirinya. Tetapi jika berkeyakinan bahwa ini pernikahan yang dibolehkan, maka bercampur dalam pernikahan itu adalah bercampur yang syubhat, anaknya dihubungkan kepadanya, dan ia bisa mewarisi bapaknya. Adapun tentang sangsi, maka keduanya berhak menerima sangsi pada pernikahan seperti ini.
76. Syaikhul Islam Rahimahullah pernah ditanya: tentang seseorang laki-laki kawin secara “Mushafahah”. Lalu perempuan itu tinggal bersama lak-laki itu selama beberapa hari, kemudian diketahui bahwa perempuan itu mempunyai suami lain. Selanjutnya suami, isteri dan suaminya yang pertama atau yang kedua? Perempuan itu memilih yang kedua, lalu yang pertama menthalaknya, dan dituliskan untuk isteri supaya ia menyempurnakan iddahnya, dan suami itu sempurna bersamanya. Apakah sah demikian itu untuk peempuan atau tidak?
Ia menjawab: Apabila perempuan itu dikawinkan dengan suami yang kedua sebelum habis iddah suami yang pertama, dan suami yang pertama telah menikahkannya baik karena rusaknya pernikahan atau karena laki-laki itu menthalaknya, atau karena keduanya diceraikan hakim, maka nikahnya rusak dan ketiganya berhak menerima sangsi, yaitu perempuan, laki-laki dan orang yang mengawinkannya, bahkan perempuan itu harus menyempurnakan iddah suami pertama. Kemudian jika yang kedua telah mengumpulinya maka perempuan itu iddah lagi untuk suami yang kedua. Telah selesai dua iddah ini maka perempuan itu boleh dikawinkan dengan siapa saja yang dikehendaki, dengan suami yang pertama, suami yang kedua atau selain keduanya.
Sumber:
Judul Asli: ahkamuz-Zawaaj
Penulis: Imam Al-'Alamah Taqiyuddin Ibnu Taimiyah
Tahqiq: Muhammad Abdul Qadir “Atha
Terbitan : Darul-Kutubil “Ilmiyah, Bairut-Libanon

Judul Edisi Indonesia: Hukum-Hukum Perkawinan
Penerjemah: Rusnan Yahya
Editor: Amir Hamzah
Desain sampul: Erlan
Cetakan: Pertama, april 1997
Penerbit: pustaka Al-Kautsar Jl. Kebon Nanas Utara II/2 Jakarta Timur 13340 Telp. (021) 8199992
1(Hadis pertama tersebut diriwayatkan Bukhari dalam kitab Shahihnya, bab 36 dari Nikah. Diriwayatkan abu Dawud dalam kitab Sunnanya, bab 19 dari kitab Nikah). Diriwayatkan Tirmidzi dalam kitab Sunannya, bab 14, 17 dari kitab Nikah. Diriwayatkan Ibnu Majah dalam kitab Sunannya, bab 15 dari kitab Nikah. Diriwayatkan Darimi dalam kitab Isunannya, bab 11 dari kitab Nikah, dan diriwayatkan Ahmad bin Hambal dalam Al-Musnad 1/250, 4/394, 413, 418; 6/260.
Hadis kedua diriwayatkan Abu Dawud dalam kitab Sunannya, bab 19 dari kitab Nikah. Diriwayatkan Tirmidzi dalam kitab Sunannya, bab 14 dari kitab Nikah. Diriwayatkan Ahmad dalam Al-Musnad 6/166.

Rabu, 27 Februari 2013

Nikaah Sirrih



Nikaah Sirrih (nikah sembunyi-sembunyi)
            Aku punya saudara yang menikah dengan seorang perempuan secara sembunyi-sembunyi tanpa diramaikan, dan yang mengetahui hanya ayah dan saudara-saudarnya saja, dan mereka sepakat untuk itu. Ia sendiri tidak ingin mengumumkan pernikahan tersebut, karena ada perbedaan status social di antara mereka berdua. Apakah pernikahan ini diperbolehkan? Minta penjelasannya!
            Kalau syarat-syarat nikah terpenuhi, seperti ada wali, ada dua saksi yang adil, dan adanya suka sama suka di antara kedua belah pihak, maka nikahnya sah dengan tanpa adanya penghalang hokum syar’i, walaupun tidak diumumkan secara meluas. Adanya syahid dan wali dianggap sebagai pengumuman dari nikah tersebut. Itulah batasan minimal dari pengumuman didalam nikah, dan nikahnya Insya Allah sah-sah saja kalau tercukupi syarat-syarat (di atas tadi), dan semakin diramaikan maka nikahnya semakin utama.(Pilihan dari fatwa-fatwa Syaikh Shalih Fauzan).
Sumber: Judul asli, (Risalah ilal’Arusain wa fatwa Az-Zawaz wa Muasyaratu An-Nisaa’.Pengarang: Abu Abdurrahman ash-Shabihi. Penerbit: Ad-Dar as-salafiyyah.
Judul Indonesia: PETUNJUK PRAKTIS DAN FATWA PERNIKAHAN. Penerjemah: Abdul Kadir Ahmad. Cetakan pertama, Januari 2003. Penerbit Najla Press. Jakarta selatan.

NIKAH SIRI ATAU KAWIN KAMPUNG


NIKAH SIRI ATAU KAWIN KAMPUNG
Kawain kampung atau nikah sirri adalah pernikahan yang dilangsungkan di luar pengetahuan petugas resmi (PPN atau kepala KUA), karenanya perkawinan itu tidak tercatat di Kantor Urusan Agama, sehingga suami-istri tersebut tidak mempunyai surat nikah yang sah.
Biasanya Orang yang dipercaya menikahkan dalam nikah sirri adalah ulama atau kiai atau mereka yang dipandang telah mengetahui hukum-hukum Munakahat (pernikahan). Alasan pernikahan sirri biasanya untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan dalam hubungan pria wanita yang sudah saling mencintai, sementara mereka belum siap berumah-tangga, atau karena masing-masing masih mempunyai tugas dan kesibukan yang belum terselesaikan. Bahkan sementara kalangan berpendapat, nikah sirri merupakan bentuk alternatif pemecahan yang paling baik dalam mengatasi pergaulan muda-mudi yang menjurus pada hal-hal yang dilarang agama.
Namun demikian, Undang-Undang Nomor I/ 1974 tentang Perkawinan tidak mensahkan pernikahan sirri, karena sebagai warga negara Indonesia, umat islam juga dituntut untuk menjadi warga negara yang baik, dengan menuruti perundang-undangan yang berlaku. Karena itu, orang yang melakukan nikah sirri, dalam perundang-undangan tetap disamakan dengan orang yang melakukan hubungan diluar nikah. Bahkan, jika dari mereka lahir anak, anak tersebut juga dihukumi sebagai anak di luar nikah.
Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan menyebutkan: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurt peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Pasal 5 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia juga menegaskan: “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat. Selanjutnya dikatakan, “Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (Pasal 6 ayat 1). Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah yang tidak mempunyai kekuatan hukum (ayat 2).1
1A. Zuhdi Muhdlor.1994. Memahami Hukum Perkawinan(Nikah, Talak, cerai, dan Rujuk). Bandung:al-Bayan. Cetakan I. Hlm. 22-23.