SENI WAYANG SEBAGAI
HASIL AKULTURASI BUDAYA ISLAM DI INDONESIA
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Islam di Indonesia
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Islam di Indonesia
Dosen Pengampu: Drs.
Ma,arif Jamuin, M. Sc.
Disusun oleh:
Suranto ( G 000 100
068)
TARBIYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2012
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2012
ABSTRAKSI
Bangsa indonesia dikenal
sebagi bangsa yang kaya dengan khasanah budaya. Masyarakat majemuk
yang hidup di seluruh wilayah nusantara, memiliki berbagai macam adat
istiadat dan seni budaya. Di antara sekian banyak seni budaya itu,
ada budaya wayang dan seni pedalangan yang bertahan dari masa kemasa.
Wayang telah ada, tumbuh dan berkembang sejak lama hingga kini,
melintasi perjalanan panjang sejarah Indonesia. Daya tahan dan daya
kembang wayang ini telah teruji dalam menghadapi berbagai tantangan
dari waktu ke waktu. Karena daya tahan dan kemampuannya
mengantisipasi perkembangan zaman itulah, maka wayang dan seni
pedalangan berhasil mencapai kualitas seni tinggi. (Ensiklopedi
Wayang Indonesia, 1999: 21).
Oleh karena itu Persatuan
Bangsa-Bangsa (PBB) melalui The United Nations Scientific and
Cultural Organization (UNESCO)mengeluarkan sertifikat tertanggal
7 Nopember 2003 yang isinya menyatakan bahwa wayang Indonesia
tertutama wayang kulit sebagai karya agung budaya dunia (masterpiece
of the oral and intangible of humanity). Namun sayang ada
sementara anggota masyarakat yang sudah kurang perhatiannya, atau pun
hanya sedikit pengetahuannya masalah wayang kulit. (Yasasusastra,
2011: XV).
Terlebih lagi sedikit
yang tahu bahwa dalam proses akulturasi dengan Islam, wayang telah
berkembang menjadi suatu alat dakwah dengan memasukkan nilai-nilai
ajaran Islam ke dalam setiap seni wayang, seperti bentuk dan cerita
wayang yang sudah diubah sesuai dengan ajaran Islam. Penulis ingin
sekali menganggkat masalah ini sehingga masyarakat menjadi tahu bahwa
di dalam seni pewayangan itu terdapat nilai-nilai ajaran Islam tidak
melulu wayang hanya berkaitan dengan ajaran Hindu, Animisme dan
Dinamisme saja.
Penulis menyadari bahwa
tulisan ini masih banyak kekurangan di sana di sini. Dengan senang
hati, penulis menerima masukan baik berupa kritik maupun saran yang
membangun. Terima kasih.
PEMBAHASAN
Pengertian Seni
Seni dapat diartikan
halus, kecakapan batin (akal) yang luar biasa yang dapat mengadakan
atau menciptakan seseuatu yang luar biasa. (Kamus Umum Bahasa
Indonesia, 1976: 916-917). seni juga dapat diartikan sebagai
kesanggupan akal untuk menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi.
(Kamus Besar Bahsa Indonesia, 2005: 1038).
Seni dalam Islam ialah
seni dekoratif-ornamental maksudnya tidak untuk disembah, bukan seni
suci seperti yang ada dalam Hindu, Buddha, dan terutama Katholik
(Yunani maupun Romawi). Sikap seperti ini kemudian mempunyai pengaruh
yaitu ketika umat Islam sudah merasa aman dan melihat benda-benda
seni tidak lebih dari sekedar dekorasi dan ornamen, mereka bisa
menerima semua bentuk seni, termasuk patung. Maka almarhum Buya Hamka
pernah membuat fatwa bahwa seni patung itu sekarang halal. Sebab umat
Islam sudah memandangnya hanya sebagai dekorasi dan ornamen. Sama
halnya dengan kalau orang islam pergi ke Bali ,elihat patung garuda
yang indah lalu dibelinya. Jelas ia tidak mempunyai kepercayaan
seperti orang bali bahwa garuda adalah suatu kendaraan dewa Wisnu. Ia
cuma melihatnya sebagai barang yang indah, tidak lebih. (Rachman
2008: 2990-2991).
Pengertian Wayang
Wayang dapat diartikan
sebagai gambar atau tiruan orang dibuat dari kulit, kayu untuk
pertunjukkan sesuatu tokoh. (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1976:
1150). Wayang juga dapat diartikan sebagai 1. Boneka tiruan orang
yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dan sebagainya yang dapat
dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukkan drama
tradisional (Bali, Jawa, Sunda, dsb) biasanya dimainkan oleh
seseorang yang disebut dalang 2. Pertunjukan wayang 3. Bayang-bayang.
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005: 1271).
Mengenai arti wayang R.T.
Josowidagdo berpendapat arti menurut bahasa “anyang-anyang”
(bayangan), karena yang dilihat adalah bayangan dalam kelir (tabir
kain putih sebagai gelanggang permainan wayang), bayangan ini nampak
karena sinar blencong (lampu di atas kepala sang dalang). Disamping
itu ada yang mengartikan “bayangan angan-angan”, yaitu
menggambarkan nenek moyang atau orang terdahulu dalam angan-angan.
Oleh karena itu menciptakan segala bentuk apa saja dari wayang itu
disesuaikan dengan adat kelakuan tokoh yang dibayangkan dalam
angan-angan. Misalnya orang orang yang baik digambarkan badanya
lurus, mukanya tajam dan seterusnya, sedangkan orang jahat
digambarkan bentuk mulutnya besar, mukanya lebar dan seterusnya.
Adapun arti wayang menurut istilah yang diberikan oleh doktor th.
Piqued ialah:1. Boneka yang dipertunjukkan (wayang itu sendiri) 2.
Pertunjukkannya, dihidangkan dalam berbagai bentuk, terutama yang
mengundang pelajaran (wejangan-wejangan), wayang purwa atau wayang
kulit. Pertunjukkan itu dihantarkan dengan teratur oleh gamelan
(instrumen) slendro. (Zarkasi, 1996: 53)
Pengertian Akulturasi
Akulturas dapat
diartikan sebagai percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling
bertemu dan saling mempengaruhi. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005:
24). Kedatangan Islam selalu mengakibatkan adanya perombakan
masyarakat atau “pengalihan bentuk” (transformasi) sosial menuju
ke arah yang lebih baik. Tapi pada saat yang sama kedatangan Islam
tidak mesti “disruptif” atau memotong suatu masyarakat dari masa
lampau semata, melainkan juga dapat ikut melestarikan apa saja yang
baik dan benar dari masa lampau itu dan bisa dipertahankan dalam
ujian ajaran universal Islam. Itulah yang dialami dan disaksikan oleh
Sunan Kalijaga tentang masyarakat jawa. Sunan Kalijaga menggunakan
unsur-unsur lokal guna melancarkan dakwahnya. Salah satunya, yang
konon digunakan Sunan Kalijaga ialah wayang (setelah dirombak
seperlunya, baik bentuk fisik maupun “lakonya”). Itu merupakan
wujud interaksi timbal balik antara islam dan budaya lokal (dalam hal
ini jawa) itu, banyak sekali adat jawa yang kini tinggal kerangkanya,
sedangkan isinya telah di Islamkan. (Rachman, 2008: 126-127).
Pengertian Budaya
Budaya dapat di
artikan sebagai pikiran, akal budi. (Kamus Besar Bhasa Indonesia,
2005: 169). Budaya juga dapat diartikan sebagai 1) pikiran, budi; 2)
kebudayaan; 3) yang mengenai kebudayaan, yang sudah berkembang
(beradab, maju). Arti kata kebudayaan adalah 1) hasil kegiatan dan
penciptaan batin (akal, budi, dan sebagainya), manusia (seperti
kepercayaan, kesenian, adatistiadat, dan adat istiadat, dan
sebagainya); 2)kegiatan (usaha) batin (akal, dan sebagainya),untuk
menciptakan sesuatu yang termasuk hasil kebudayaan. kata budaya
apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Sansekerta adalah bodhoday
yang merupakan gabungan dari dua kata yaitu bodh dan
udaya. Bodh berarti sadar, bangun, insaf, pengertian,
penalaran, ilmu, dan sebagainya. Udaya berarti lahir, muncul,
tampak, terbit, dan sebagainya. (Karim, 2007)
Asal Usul dan
Perkembangan Wayang
Asal-usul dan
perkembangan wayang tidak tercatat secara akurat seperti sejarah.
Namun orang selalu ingat dan merasakan kehadiran wayang dalam
kehidupan masyarakat. Wayang akrab dengan masyarakat sejak dahulu
hingga sekarang, karena memang wayang itu merupakan salah satu buah
usaha akal budi bangsa Indonesia. Wayang tampil sebagai seni budaya
tradisional, dan merupakan puncak budaya daerah.
Menelisuri asal usul
wayang secara ilmiah memang bukan hal yang mudah. Sejak zaman
penjajahan Belanda hingga kini banyak para cendikiawan dan budayawan
berusaha meneliti dan menulis tentang wayang. Ada persamaan, namun
tidak sedikit yang saling silang pendapat. Hazeu berbeda pendapat
dengan Rassers begitu pula pandangan dari pakar Indonesia seperti
K.P.A. Kusumadilaga, Ranggawarsita, Suroto, Sri Mulyono dan lain-lai.
Namun semuacendikiawan
tersebut jelas membahas wayang Indonesia dan menyatakan bahwa wayang
itu sudah ada dan berkembang sejak zaman kuna, sekitar tahun 1500 SM,
jauh sebelum agama dan budaya dari luar masuk ke Indonesia.
Jadi, wayang dalam
bentuknya yang masih sederhana adalah asli Indonesia, yang dalam
proses perkembangan setelah bersentuhan dengan unsur-unsur lain,
terus berkembang maju sehingga menjadi wujud dan isinya seperti
sekarang ini. Sudah pasti perkembangan itu tidak akan berhenti,
melainkan akan berlanjut di masa-masa mendatang.
Periodisasi Wayang
Periodisasi perkembangan
budaya wayang juga merupakan bahasan yang menarik. Bermula zaman kuna
ketika nenek moyang bangsa Indonesia masih menganut animisme dan
dinamisme. Dalam alam kepercayaan animisme dan dinamisme ini diyakini
roh orang yang sudah meninggal masih tetap hidup, dan semua benda itu
bernyawa serta memiliki kekuatan. Roh-roh itu bisa bersemayam di
kayu-kayu besar, batu, sungai, gunung dan lain-lain. Paduan dari
animisme dan dinamisme ini menempatkan roh nenek moyang yang dulunya
berkuasa, tetap mempunyai kuasa. Mereka terus dipuja dan dimintai
pertolongan.
Untuk memuja roh nenek
moyang ini, selain melakukan ritual tertentu mereka mewujudkannya
dalam bentuk gambar dan patung. Roh nenek moyang yang dipuja ini
disebut “hyang' atau 'dahyang'.
Orang biasa
berhubungan dengan para hyang ini untuk meminta pertolongan
dan perlindungan, melalui seorang medium yang disebut 'syaman'.
Ritual pemujaan nenek moyang, hyang dan syaman inilah
yang merupakan asal mula pertunjukkan wayang. Hyang menjadi
wayang, ritual kepercayaan itu menjadi jalanya pentas dan syaman
menjadi dalang. Sedangkan ceritanya adalah petualangan dan
pengalaman nenek moyang. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa
asli yang hingga sekarang masih dipakai. Jadi, wayang itu berasal
dari ritual kepercayaan nenek moyang bangsa Indonesia disekitar tahun
1500 SM.
Berasal dari zaman
animisme, wayang terus mengikuti perjalanan sejarah bangsa sampai
pada masuknya agama Hindu di indonesia sekitar abad ke enam. Bangsa
Indonesia mulai bersentuhan dengan peradaban tinggi dan berhasil
membangun kerajaan-kerajaan seperti Kutai, Tarumanegara, bahkan
Sriwijaya yang besar dan jaya. Pada masa itu wayang pun berkembang
pesat, mendapat fondasi yang kokoh sebagai suatu karya seni yang
bermutu tunggi.
Pertujukkan roh nenek
moyang itu kemudian dikembangkan dengan cerita yang lebih berbobot,
Ramayana dan Mahabarata. Selama abad X hingga XV, wayang berkembang
dalam rangka ritual agama dan pendidikan kepada masyarakat. Pada masa
ini telah mulai ditulis berbagai cerita tentang wayang. Semasa
kerajaan Kediri, Singasari dan Majapahit kepustakaan wayang mencapai
puncaknya seperti tercatat pada prasasti di candi-candi, karya sastra
yang ditulis oleh Empu Sendok, Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu
Tantular dan lain-lain. Karya sastra wayang yang terkenal dari zaman
Hindu itu antara lain Baratayuda, Arjuna Wiwaha, Sudamala, sedangkan
pergelaran wayang sudah bagus, diperkaya lagi dengan penciptaan
peraga wayang terbuat dari kulit yang dipahat, diiringi gamelan dalam
tatanan pentas yang bagus dengan cerita Ramayana dan Mhabarata.
Pergelaran wayang mencapai mutu seni yang tinggi sampai-sampai
digambarkan “hanonton ringit manangis asekel”, tontonan
wayang sangat mengahrukan.
Menarik untuk
diperhatikan cerita Ramayana dan Mahabarata yang asli berasal dari
India, telah diterima dalam pergelaran wayang Indonesia sejak zaman
Hindu hingga sekarang. Wayang seolah-olah identik dengan Ramayana dan
Mahabarata. Namun perlu dimengerti bahwa Ramayana dan Mahabarata
versi India itu sudah banyak berubah. Berubah alur ceritanya; kalau
Ramayana dan Mahabarata India merupakan cerita yang berbeda satu
dengan lainnya, di Indonesia menjadi kesatuan.
Dalam pewayangan cerita
itu bermula dari kisah Ramamyana terus bersambung dengan Mahabarata,
malahan dilanjutkan dengan kisah zaman kerajaan Kediri. Mahabarata
asli berisi 20 parwa, sedangkan di Indonesia tinggal 18 parwa.
Yang sangat menonjol
perbedaanya adalah falsafah yang mendasari kedua cerita itu,
lebih-lebih setelah masuknya agama Islam. Falsafah Ramayana dan
Mahabarata yangt Hinduisme diolah sedemikian rupa sehingga menjadi
diwarnai nilai-nilai agama Islam. Hal ini antara lain nampak pada
kedudukan dewa, garis keturunan yang patriarkhat, dan sebagainya.
Wayang diperkaya lagi dengan begitu banyaknya cerita gubahan baru
yang bisa disebut lakon “carangan”, maka Ramayana dan
Mahabarata berbeda dengan aslinya. Begitu pula, Ramayana dan
Mahabarata dalam pewayangan tidak sama dengan Ramayana dan Mahabarata
yang berkembang di Myanmar, Thailand, Kamboja, dan di tempat-tempat
lainnya. Ramayana dan Mahabarata dari India itu sudah menjadi
Indonesia karena di warnai oleh budaya asli dan nilai-nilai budaya
ada di Nusantara.
Di Indonesia, walaupun
cerita Ramayana dan Mahabarata sama-sama berkembang dalam pewayangan,
tetapi mahabarata digarap lebih tuntas oleh budayawan dan pujangan
kita. Berbagai lakon carangan dan sampalan, kebanyakan
mengambil Mahabarata sebagai inti cerita.
Masuknya agama Islam di
Indonesia pada abad ke-15, membawa perubahan besar terhadap kehidupan
masyarakat Indonesia. Begitu pula wayang telah mengalami masa
pembaharuan. Pembaharuan besar-besran, tidak saja dalam bentuk dan
cara pergelarantapi juga bahasa yang digunakan dalam mendalang,
maksudnya bahasa yang telah disusun indah sesuai kegunaannya. Dalam
seni pedalangan, kedudukan sastra amat penting dan harus dikuasai
dengan baik oleh para pedalang.
Bentuk peraga wayang juga
menunjukkan keaslian wayang Indonesia, karena bentuk stilasi peraga
wayang yang imajinatif dan indah itu merupakan proses panjang seni
kriya wayang yang dilakukan oleh para pujangga dan seniman perajin
Indonesia sejak dahulu. Begitu Majunya seni kriya wayang ini, banyak
yang berpendapat bahwa dalam aspek kriya dan seni rupa, wayang sudah
mencapai tingkat 'seempurna'. Penilaian ini obyektif, tidak
berlebihan, apabila dibandingkan dengan bentuk-bentuk peraga wayang
atau seni boneka dari mancanegara.
Kekuatan utama
budaya wayang, yang juga merupaka jati dirinya, adalah kandungan
nilai falsafatnya. Wayang yang tumbuh dan berkembang sejak lama itu
ternyata berhasil menyerap berbagai nilai-nilai keutamaan hidup dan
terus dapat dilestarikan dalam berbagai pertunjukkan wayang.
Bertolak dari pemujaan
nenek moyang, wayang yang sudah sangat relegius, mendapat masukkan
agama Hindu, sehingga wayang semakin kuat sebagai media ritual dan
pembawa pesan etika. Memasuki pengaruh agama Islam, kokoh sudah
landasan wayang sebagai tontonan yang mengandung tuntunan yaitu acuan
moral budi luhur menuju terwujudnya 'akhlaqul kharimah'.
Proses akulturasi
kandungan isi wayang itu meneguhkan posisi wayang sebagai slah satu
sumber etika dan falsafah yang secara tekun dan berlanjut disampaikan
kepada masyarakat. Oleh karena itu ada pendapat, wayang itu tak
ubahnya sebagai buku falsafah, yaitu falsafah Nusantara yang bisa
dipakai sumber etika dalam kehidupan pribadi dan masyarakat.
Wyang bukan lagi sekedar
tontonan bayang-bayang atau 'shadow play' , melainkan sebagai
'wewayangane ngaurip' yaitu bayangan hidup manusia. Dalam suatu
pertunjukan wayang, dapat dinalar dan dirasakan bagaimana kehidupan
manusia itu ldari lahir hingga mati. Perjalanan hidup manusia untuk
berjuang menegakkan yang benar dengan mengalahkan yang salah. Dari
pertunjukkan wayang dapat diperoleh pesan untuk hidup penuh amal
saleh guna mendapatkan keridhoan Illahi.
Wayang juga dapat secara
nyata menggambarkan konsepsi hidup 'sangkan paraning dumadi',
manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali keharibaan-Nya.
Banyak ditemui seni budaya semacam wayang yang dikenal dengan 'puppet
show', namun yang seindah dan sedalam maknanya menandingi Wayang
Kulit Purwa.
Itulah asal usul wayang
Indonesia, asli Indonesia yang senantiasa berkembang dari waktu ke
waktu. Secara dinamis mengantisipasi perkembangan dan kemajuan zaman.
Jenis-Jenis Wayang
- Wayang Purwa (Purwa=dahulu=pertama=menggambarkan periode zaman pertama), Menggambarkan cerita Mhabarata dengan pokok cerita “baratayuda” yakni perang saudara Pandawa melawan Ngastina memperebutkan kerajaan ynag akhirnya dimenangkan oleh Pandawa. Cerita Wayang purwa ini mula-mula diwujudkan sebagai lukisan pada daun lontar dan diciptakan oleh Prabu Jayabaya raja Kediri yang kemudian setelah mengalami zaman Majapahit dan Demak berubah bentuk serta bahannya sebagai berwujud seperti sekarang ini. Yakni dilukis dipahat dari samping pada kulit binatang. (lihat asal-usul perkembangan Wayang Purwa). Jumlah seluruhnya sebanyak 400-500 buah.
- Wayang Madya (zaman tengah), Wayang ini ciptaan Mangkunagara IV Surakarta. Ceritanya merupakan lanjutan cerita Wayang Purwa, yakni sesudah Prabu Parikesit dan seterusnya sampai zaman kerajaan Jenggala Kediri. (Sedang Raden Samsudjin Proboharjono berpendapat bahwa ceritanya saduran dari karangan Punjangga Raden Ngabehi Ronggowarsito).
- Wayang Gedog (Kedok=topeng) yang menciptakan wayang ini adalah Sunan Giri. Isi ceritanya adalah lanjutan Wayang Madya, yakni sejak zaman Jenggala sampai kerajaan Pajajaran. Kalau dalam pewayangan ada periode zaman Purwa dan Madya. Gedog inilah zaman akhirnya. (Sedang Raden Samsudjin Probiharjono berpendapat bahwa “gedok” berarti: 1. gedongan, 2. kandang kuda, 3. Dodokan katak, suaranya dan lain-lain. Wayang Gedokmenceritakan zaman Kediri (Daha), Panji Asmarabangun. Cerita ini zaman sebelum Majapahit sudah ada. Sedang Wayang Kulit Gedog ciptaan zaman awal Surakarta oleh Mangkunegara IV).
- Wayang Krucil atau Wayang Klitik, (Krucil mempunyai sifat kecil, sedang klitik mengandung unsur keras) (banyak pendapat). Wayang ini bentuknya kecil-kecil dan bahannya dibuat dari kayu. Jumlahnya hanya 70 buah. Isinya ceritanya menggambarkan sejarah kerajaan Pajajaran sampai dengan kerajaan Majapahit akhir.
- Wayang Dupara, Wayang ini diciptakan belum lama, yaitu oleh Sri Susuhunan Paku Boewana ke X Surakarta. (Pendapat Raden Samsudjin Proboharjono agak lain. Penciptanya Raden Danuatmojo keponakan Sri Mangkunegoro ke IV, kira-kira tahun 1900 lebih sedikit). Ceritanya menggambarkan kerajaan Demak, Pajang, Mataram, sapai dengan Kartosuro berikut Kapten Tack-nya.
- Wayang Jawa, Penciptanya Dutadilaga Sala. Isi ceritanya sejarah kerajaan Demak sampai dengan Mataram Habis. Keitimewaan wayang ini ialah dapat juga digunakan untuk menggambarkan cerita Menak, sahabat Nabi Muhammad s.a.w. (Pendapat Raden Samsudjin Proboharjono , Menak asal kata “wong sing kepenak” orang yang selalu enak hidupnya, luhur. Misalnya cerita Amir Kamzah).
- Wayang Golek, Wayang ini bentuknya seperti dengan boneka yang bahannya dari kayu, jumlahnya 70 buah. Yang masih banyak kini di Cepu dan Bojonegoro. Isi ceritanya riwayat Menak, hubungan negeri Arab dan Persia pada zaman awal islam. Di Jawa Barat juga banyak wayang ini, hamya pakaiannya seperti pakaian orang jawa dulu. Dagelannya Petruk diganti namanya dengan Cepot. Di Jawa Barat yang terbanyak di Priangan.
- Wayang Menak, Penciptanya Trunadipa K. Dukun di Baturana Sala. Isinya hanya khusus menggambarkan riwayat Menak Sejak lahir, anak, dewasa, tua sampai mati. Wayangnya berjumlah 150 buah. (Pendapat Raden Samsudjin Proboharjono menambahkan, bahwa ceritanya Wong Agung Menak Jayengmurti alias Amir Hamzah hingga lahirnya Nabi Muhammad s.s.w, dan berkembangnya agama Islam. Creitanya disusun oleh pujangga R. Ngabehi Yosodipuro 1, Surakarta).
- Wayang kancil, Penciptanya Bah Bo Liem seorang Tionghoa tahun 1925 di Sala. Isi ceritanya dongeng Kancil dan Binatang terutama untuk ditunjukkan pada anak-anak.
- Wayang Perjuangan atau Wayang Sandiwara, Mulanyaisinya menggambarkan contoh kebaikan dan keburukan beranama Wayang Sandiwara. Setelah tahun 1945 diganti namanya dengan Wayang perjuangan. Isi ceritanya menngambarkan betapa kejamnya kolonal belanda selama 350 tahun. Penjajahan Jepang tiga setengah tahun, hingga zaman kemerdekaan. R.M. Sajid Sala tahun 1944 turut mencipta. Ada yang menamakan Wayang Suluh yang menggunakan Jawatan Penerangan R. I. Untuk Suluh Penerangan. (Raden Samsudjin Proboharjono berpendapat, bahwa Wayang Perjuangan (Suluh) diciptakan oleh Badan Kongres Pemuda R.I tahun 1946/1947 di Yogyakarta. Bentuknya realistis seperti manusia biasa. Menggambarkan tokoh-tokoh pejuang tanah air ditahun 1945 seperti Bung Karno, Drs. Mohammad Hatta, Sutan Syahriri, Jenderal Soedirman, h. Agus Salim, untuk menerangkan suasana revolusi bersenjata untuk merebut kemerdekaan dari penjajah). (Menurut penjelasannya R. Samsoedjin adalah dalang pertama melakonkan wayangperjuangan tersebut, Penyalin).
- Wayang Beber, Wayang Beber ini mula sekali diciptakan pada zaman Majapahit. Isi ceritanya adalah Wayang Purwa. Ini misalnya sebagai hasil perkembangan dari gambar relief pada candi Panataran dan kemudian jadi Wayang Purwa. Wayang Beber ini terdiri dari adegan-adegan yang dilukiskan pada kain yang dihaluskan Dahulu dilukis pada lulup kulit kayu waru. Umumya satu cerita berisi 16 adegan dan terdiri dari 4 gulungan, jadi tiap gulungan terdiri 4 adegan. Berbeda dengan wayang-wayang lain, Wayang Beber ini, setelah dibeber wayang itu tidak dipegang oleh si Dalang, dia hanya menceritakan seja dari balik gambar. (Tidak dimuka seperti wayang-wayang yang lain). Umumnya selama 2jam selesai.
- Wayang Topeng, Wayang yang pelaku-pelakunya masing-masing pakai topeng. Sandiwara semacam ini terdapat berbagai bangsa di seluruhdunia. Di Indonesia sandiwara topeng itu juga terdapat pada suku-suku bangsa yang tidak terpengaruh oleh kebudayaan Hindu. Misalnya pada suku bangsa Dayak.
- Wayang Wong, Wayang ini diciptakan sejak Mangkunegoro IV Surakarta. Isi ceritanya seperti Wayang Purwa. Hanya tokoh-tokoh pelakunya orang. Dinamakan di panggung, dekor-dekor semacam sandiwara, walaupun demikian masih memakai dalang juga. Wireng adalah potongan (petilan) cerita wayang orang yang berwujud peperangan-peperangan. (Zarkasi, 1996: 53-58)
Bentuk-Bentuk
akulturasi islam terhadap Seni Wayang
Wayang Kulit Purwa Pada
zaman Demak, Oleh para wali dan pujangga jawa direkayasa dan dibesut
sedemikian rupa sehingga selain merupakan sarana hiburan yang
menarik, juga mampu dipakai sebagai sarana komunikasi massa dan
dakwah agama Islam. Nilai-nilai yang bersumber dari agama Islam.
Begitu cermatnya para wali dan pujangga jawa saat itu dalam
mengembangkan budaya wayang dan seni pedalangan, sehingga budaya ini
menjadi bernuansa Islam, dan dapat selaras dengan perkembangan
masyarakat masa itu.
Bertolak dari nilai-nilai
dan missi yang diemban, maka wayang mengalami perubahan substansial
antara lain tampak pada:
Pertama, Bentuk
atau seni rupa wayang yang semula seperti relief wayang di
candi-candi, menjadi imajinatif dalam arti tidak seperti bentuk
manusia. Seluruh anggota badan tetap lengkap atau fungsional namun
tidak proposional. Walaupun bentuk wayang tidak proposional akan
tetapi sangat serasi sehingga terkesan indah sekali. Barangkalai ini
suatu pengejawantahan yang tepat dari konsep menolak berhala, namun
tetap dapat mengahdirkan tokoh wayang sebagai gambaran manusia
lengkap dengan nama dan sifat-sifatnya.
Kedua, Pertunjukkan
wayang pada malam hari yang memakan waktu 7-8 jam, mulai bakda Isya'
hingga menjelang subuh, biasanya disebut semalam suntuk. Waktu
pertunjukkan itu merupakan saat yang tepat sekali untuk mendekatkan
diri pada Tuhan, berbicara dan memikirkan hal-hal yang baik seraya
memohon ridho Allah. Tema lakon wayang senantiasa berkisar perjuangan
yang baik melawan yang buruk, yang benar melawan yangsalah, yang hak
mengalahkan yang batil. Tidak salah lagi kalau ditafsirkan pergelaran
wayang semalam suntuk adalah suatu 'dzikir', perjalanan kejiwaan
memahami hakekat hidup, mendekatkan dari pada Dzat Yang Maha Kuasa.
Karena seni wayang itu
dilandasi oleh nilai-nilai agama sejak zaman hindu hingga Islam, Maka
pertunjukkan wayang sangat relegius. Semua pesan etika maupun
falsafah bersumber pada kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa. Cerita
Ramayana dan Mahabarata lengkap dengan para dewa tetap dipertahankan
dan dikembangkan. Begitu jauh perkembangannya, sehingga cerita
Ramayana dan Mahabarta dari india itu berbeda sekali dengan
penerapannya dalam pergelaran wayang di Indonesia, utamanya Wayang
Kulit Purwa dan Golek Purwa Sunda.
Perbedaan yang mudah
dilihat adalah kedudukan para dewa. Konsepsi kedewaan dalam Wayang
Kulit Purwa dan Golek Purwa Sunda sudah bergeser. Dewa dan manusia
merupakan makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Mengenai alam dewa ini, lebih
jauh dr. Soedjarwo, salah seorang pembina dan pakar wayang menegaskan
bahwa dewa itu makhluk ciptaan Tuhan yang jumlajnyamelebihi jumlah
manusia dan hidup dalam alamnya sendiri. Dewa itu bertingkat-tingkat
sesuai derajatnya, yang paling tinggi Batara Guru sebagai raja dan
jajaran dewa lain di bawahnya. Pada umumnya para dewa ini baik-baik,
namun ada pula yang jahat, seperti Batara Kala.
Selanjutnya pada tahun
1443 Saka, bersamaan dengan pergantian pemerintahan jawa yang
berdasarkan agama Budha (Majapahit), berganti dengan dasar ke-Islaman
Agama Islam (Demak), lalu wujud wayang Beber (gambar) lalu dibangun
jadi wayang kulit terperinci satu persatu tokoh-tokohnya. Yang
mengerjakan pembangunan ini para wali. Yang demikian itu artinya para
pengemuka agama Islam telah dapat menghilangkan unsur-unsur
kemusyrikan. Sebab dalam Islamtelah terdapat hukum tentang
gambar-gambar itu ada 3 macam, yaitu wenang (mubah), makruh, dan
musyrik. Menurut Ki Sis waharsaya, yang telah menulis dalam buku
“Serat Guna Tjara Agama” berpendapat sebagai berikut:
- Yang hukumnya mubah ialah semua gambar-gambar yang menerangkan pelajaran, hiasan rumah, gambar hutan, pegunungan, hewan dan lain sebagainya.
- Yang hukumnya makruh, ialah semua gambar-gambar yang melanggar kesusilaan yang mendorong pada perbuatan nyeleweng, seperti gambar telanjang dan sebagainya.
- Yang umumya mussyrik, yaitu gambar-gambar menyebabkan adanya pemujaan yang mengakibatkan tipisnya iman kepada Allah s.w.t.
Bab 2 dan 3 itu dalam
Islam dilarang, terutama Bab 3. Padahal gambar wayang Beber itu jelas
sekali musyrik. Sebab, pemujaan orang banyak terhadap wayang Beber
waktu itu , tidak saja diselenggarakan dengan saji-sajian, tetapi
sampai beritikad bahwa dengan wayang Beber itu orang menolak bahaya
yang akan menimpa, yaitu adanya tata-cara ngruwat (nebusi anak
tunggal) atau murwakala. (Zarkasi, 1996: 69-70).
Kemudian cerita yang
digunakan dalam seni pewayangan sebelum islam adalah Ramayana dan
Mahabarata. Ranayana ialah kitab karangan Walmiki (hindu). Kitab ini
lebih tua daripada Mabarata. Di negeri Hindu, Ramayana termasuk kitab
golongan orang memeluk agama Wisnu. Sedangkan Mahabarata kitab orang
Siwa. Kitab Ramayana (di Jawa) berbahasa Jawa kuna dan berbentuk
Syair. Kitab Ramayana ini (berbahasa Jawa Kuna) kira-kira dibuat
tatkala bertahta raja Diyah Balitung. Raja terkenal yang menguasai
Jawa Tengah dan Jawa Timur, beristanakan di Mataram kira-kira tahun
820-832 Saka. Adapun kitab Ramayana berbahasa Jawa Kuna mengisahkan
cerita Prabu Rama, seperti kitab Ramayana berbahasa Sansekerta
bauatan Walmiki. Walaupun demikian ada juga bedanya. Pada Ramayana
Sansekerta Sita (istri Rama) sesudah pulang ke Ayodya lalu berpisah
dengan Sang Rama. Sedangkang dikitab Ramayana Jawa Kuna sang Sita
lalu terus kumpul lagi dengan Sang Rama. Selain itu ramayana Jawa
Kuna apabila dibandingkan dengan Ramayana Walmiki, termasuk pendek
(ringkas) sekali, tidak berlarut-larut. Dan telah diketahui bahwa
indul Ramayana Jawa Kuna itu memang bukan Ramayana Walmiki. (Zarkasi,
1996: 64).
Setelah Islam datang Maka
cerita wayang tersebut disesuaikan dengan ajaran agama Islam. Para
wali dan pujangga membuat lakon tambhan dari cerita Ramayana dan
Mahabarata, diantaranya yaitu Lakon Jimat Kalimasada, Lakon Mustaka
Weni, Lakon Petruk Dadi Ratu, Lakon Parto Dewa Atau Harjunawiwaha dan
Lakon Dewa Ruci. Seta mereka juga menciptakan tokoh-tokoh tambahan
yang tidak ada dalam kitab Ramayana dan Mahabarata seperti Semar,
Gareng, Petruk, Bagong, antareja, antasena, Wisanggeni dan Gandamana.
KESIMPULAN
- Seni dalam Islam ialah seni dekoratif-ornamental maksudnya tidak untuk disembah. Sikap seperti ini kemudian mempunyai pengaruh yaitu ketika umat Islam sudah merasa aman dan melihat benda-benda seni tidak lebih dari sekedar dekorasi dan ornamen, mereka bisa menerima semua bentuk seni, termasuk patung. Maka almarhum Buya Hamka pernah membuat fatwa bahwa seni patung itu sekarang halal. Sebab umat Islam sudah memandangnya hanya sebagai dekorasi dan ornamen. (Rachman, 2008: 2990-2991).
- Wayang dapat diartikan sebagai gambar atau tiruan orang dibuat dari kulit, kayu untuk pertunjukkan sesuatu tokoh. (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1976: 1150). Wayang juga dapat diartikan sebagai 1. Boneka tiruan orang yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dan sebagainya yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukkan drama tradisional (Bali, Jawa, Sunda, dsb) biasanya dimainkan oleh seseorang yang disebut dalang 2. Pertunjukan wayang 3. Bayang-bayang. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005: 1271).
- Akulturas dapat diartikan sebagai percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005: 24).
- Budaya dapat di artikan sebagai pikiran, akal budi. (Kamus Besar Bhasa Indonesia, 2005: 169). kata budaya apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Sansekerta adalah bodhoday yang merupakan gabungan dari dua kata yaitu bodh dan udaya. Bodh berarti sadar, bangun, insaf, pengertian, penalaran, ilmu, dan sebagainya. Udaya berarti lahir, muncul, tampak, terbit, dan sebagainya. (Karim, 2007)
- Wayang Indonesia itu sudah ada dan berkembang sejak zaman kuna, sekitar tahun 1500 SM, jauh sebelum agama dan budaya dari luar masuk ke Indonesia.Jadi, wayang dalam bentuknya yang masih sederhana adalah asli Indonesia, yang dalam proses perkembangan setelah bersentuhan dengan unsur-unsur lain, terus berkembang maju sehingga menjadi wujud dan isinya seperti sekarang ini. Sudah pasti perkembangan itu tidak akan berhenti, melainkan akan berlanjut di masa-masa mendatang. (Sena Wangi, 1999: 29)
- Dalam perkembangannya wayang menjadi berbagai jenis diantaranya wayang Purwa, Wayang Madya, Wayang Gedog, Wayang Krucil, Wayang Dupara, Wayang Jawa, Wayang Golek, Wayang Menak, Wayang Kancil, Wayang Perjuangan atau Wayang Sandiwara, Wayang Beber, Wayang Topeng dan Wayang Wong.(Zarkasi, 1996: 55-58)
- Bentuk pertama wayang adalah wayang Batu yang dipahat di dinding candi, tergolong wayang tertua kemudian disusul Wayang Beber. Wayang generasi selanjutnya adalah wayang Majapit atau wayang Bali, lalu Wayang Purwa Jawa Tengah dan Wayang Golek sunda. ( Sena Wangi, 1999: 30).
- Wali dan pujangga Islam meruba bentuk dan cerita wayang untuk menyesuaikan dengan ajaran agama Islam, sehingga keadaannya sudah jauh berbeda dengan wayang zamam Hindu yang mengambil cerita dari kitab Mahabarata dan Ramayana.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Hariwidjoyo, Atmo. 2011. Wayang dan Karakter Manusia
Dalam Kehidupan Sehari-hari.Yogyakarta: Absolut.
Poerwadarminta. W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Rachman, Budhy Munawar. 2007. Ensiklopedi Nurcholis
Madjid Jilid 1dan 2. Indramayu: Al-Zaytun.
Tim Penulis Sena Wangi. 1999. Ensiklopedi Wayang
Indonesia. Jakarta: Sekertariat Pewayangan Indonesia.
Yasasusastra, J. Syahban. 2011. Mengenal Wayang
Tokoh Pewayangan Biografi, Bentuk dan Perwatakannya. Yogyakarta:
Pustaka Mahardika.
Zarkasi, Efendi. 1996. Unsur-Unsur Islam Dalam
Pewayangan Merupakan telaah atas penghargaan Walisangga terhadap
wayang untuk media da'wah Islam. Jakarta: PT Margi Wahyu.