Selasa, 26 Juni 2012

SENI WAYANG SEBAGAI HASIL AKULTURASI BUDAYA ISLAM DI INDONESIA



SENI WAYANG SEBAGAI HASIL AKULTURASI BUDAYA ISLAM DI INDONESIA
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Islam di Indonesia
Dosen Pengampu: Drs. Ma,arif Jamuin, M. Sc.


Disusun oleh:
Suranto ( G 000 100 068)



TARBIYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2012


ABSTRAKSI
Bangsa indonesia dikenal sebagi bangsa yang kaya dengan khasanah budaya. Masyarakat majemuk yang hidup di seluruh wilayah nusantara, memiliki berbagai macam adat istiadat dan seni budaya. Di antara sekian banyak seni budaya itu, ada budaya wayang dan seni pedalangan yang bertahan dari masa kemasa. Wayang telah ada, tumbuh dan berkembang sejak lama hingga kini, melintasi perjalanan panjang sejarah Indonesia. Daya tahan dan daya kembang wayang ini telah teruji dalam menghadapi berbagai tantangan dari waktu ke waktu. Karena daya tahan dan kemampuannya mengantisipasi perkembangan zaman itulah, maka wayang dan seni pedalangan berhasil mencapai kualitas seni tinggi. (Ensiklopedi Wayang Indonesia, 1999: 21).
Oleh karena itu Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui The United Nations Scientific and Cultural Organization (UNESCO)mengeluarkan sertifikat tertanggal 7 Nopember 2003 yang isinya menyatakan bahwa wayang Indonesia tertutama wayang kulit sebagai karya agung budaya dunia (masterpiece of the oral and intangible of humanity). Namun sayang ada sementara anggota masyarakat yang sudah kurang perhatiannya, atau pun hanya sedikit pengetahuannya masalah wayang kulit. (Yasasusastra, 2011: XV).
Terlebih lagi sedikit yang tahu bahwa dalam proses akulturasi dengan Islam, wayang telah berkembang menjadi suatu alat dakwah dengan memasukkan nilai-nilai ajaran Islam ke dalam setiap seni wayang, seperti bentuk dan cerita wayang yang sudah diubah sesuai dengan ajaran Islam. Penulis ingin sekali menganggkat masalah ini sehingga masyarakat menjadi tahu bahwa di dalam seni pewayangan itu terdapat nilai-nilai ajaran Islam tidak melulu wayang hanya berkaitan dengan ajaran Hindu, Animisme dan Dinamisme saja.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan di sana di sini. Dengan senang hati, penulis menerima masukan baik berupa kritik maupun saran yang membangun. Terima kasih.


PEMBAHASAN


Pengertian Seni
Seni dapat diartikan halus, kecakapan batin (akal) yang luar biasa yang dapat mengadakan atau menciptakan seseuatu yang luar biasa. (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1976: 916-917). seni juga dapat diartikan sebagai kesanggupan akal untuk menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi. (Kamus Besar Bahsa Indonesia, 2005: 1038).
Seni dalam Islam ialah seni dekoratif-ornamental maksudnya tidak untuk disembah, bukan seni suci seperti yang ada dalam Hindu, Buddha, dan terutama Katholik (Yunani maupun Romawi). Sikap seperti ini kemudian mempunyai pengaruh yaitu ketika umat Islam sudah merasa aman dan melihat benda-benda seni tidak lebih dari sekedar dekorasi dan ornamen, mereka bisa menerima semua bentuk seni, termasuk patung. Maka almarhum Buya Hamka pernah membuat fatwa bahwa seni patung itu sekarang halal. Sebab umat Islam sudah memandangnya hanya sebagai dekorasi dan ornamen. Sama halnya dengan kalau orang islam pergi ke Bali ,elihat patung garuda yang indah lalu dibelinya. Jelas ia tidak mempunyai kepercayaan seperti orang bali bahwa garuda adalah suatu kendaraan dewa Wisnu. Ia cuma melihatnya sebagai barang yang indah, tidak lebih. (Rachman 2008: 2990-2991).
Pengertian Wayang
Wayang dapat diartikan sebagai gambar atau tiruan orang dibuat dari kulit, kayu untuk pertunjukkan sesuatu tokoh. (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1976: 1150). Wayang juga dapat diartikan sebagai 1. Boneka tiruan orang yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dan sebagainya yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukkan drama tradisional (Bali, Jawa, Sunda, dsb) biasanya dimainkan oleh seseorang yang disebut dalang 2. Pertunjukan wayang 3. Bayang-bayang. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005: 1271).
Mengenai arti wayang R.T. Josowidagdo berpendapat arti menurut bahasa “anyang-anyang” (bayangan), karena yang dilihat adalah bayangan dalam kelir (tabir kain putih sebagai gelanggang permainan wayang), bayangan ini nampak karena sinar blencong (lampu di atas kepala sang dalang). Disamping itu ada yang mengartikan “bayangan angan-angan”, yaitu menggambarkan nenek moyang atau orang terdahulu dalam angan-angan. Oleh karena itu menciptakan segala bentuk apa saja dari wayang itu disesuaikan dengan adat kelakuan tokoh yang dibayangkan dalam angan-angan. Misalnya orang orang yang baik digambarkan badanya lurus, mukanya tajam dan seterusnya, sedangkan orang jahat digambarkan bentuk mulutnya besar, mukanya lebar dan seterusnya. Adapun arti wayang menurut istilah yang diberikan oleh doktor th. Piqued ialah:1. Boneka yang dipertunjukkan (wayang itu sendiri) 2. Pertunjukkannya, dihidangkan dalam berbagai bentuk, terutama yang mengundang pelajaran (wejangan-wejangan), wayang purwa atau wayang kulit. Pertunjukkan itu dihantarkan dengan teratur oleh gamelan (instrumen) slendro. (Zarkasi, 1996: 53)
Pengertian Akulturasi
Akulturas dapat diartikan sebagai percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005: 24). Kedatangan Islam selalu mengakibatkan adanya perombakan masyarakat atau “pengalihan bentuk” (transformasi) sosial menuju ke arah yang lebih baik. Tapi pada saat yang sama kedatangan Islam tidak mesti “disruptif” atau memotong suatu masyarakat dari masa lampau semata, melainkan juga dapat ikut melestarikan apa saja yang baik dan benar dari masa lampau itu dan bisa dipertahankan dalam ujian ajaran universal Islam. Itulah yang dialami dan disaksikan oleh Sunan Kalijaga tentang masyarakat jawa. Sunan Kalijaga menggunakan unsur-unsur lokal guna melancarkan dakwahnya. Salah satunya, yang konon digunakan Sunan Kalijaga ialah wayang (setelah dirombak seperlunya, baik bentuk fisik maupun “lakonya”). Itu merupakan wujud interaksi timbal balik antara islam dan budaya lokal (dalam hal ini jawa) itu, banyak sekali adat jawa yang kini tinggal kerangkanya, sedangkan isinya telah di Islamkan. (Rachman, 2008: 126-127).
Pengertian Budaya
Budaya dapat di artikan sebagai pikiran, akal budi. (Kamus Besar Bhasa Indonesia, 2005: 169). Budaya juga dapat diartikan sebagai 1) pikiran, budi; 2) kebudayaan; 3) yang mengenai kebudayaan, yang sudah berkembang (beradab, maju). Arti kata kebudayaan adalah 1) hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal, budi, dan sebagainya), manusia (seperti kepercayaan, kesenian, adatistiadat, dan adat istiadat, dan sebagainya); 2)kegiatan (usaha) batin (akal, dan sebagainya),untuk menciptakan sesuatu yang termasuk hasil kebudayaan. kata budaya apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Sansekerta adalah bodhoday yang merupakan gabungan dari dua kata yaitu bodh dan udaya. Bodh berarti sadar, bangun, insaf, pengertian, penalaran, ilmu, dan sebagainya. Udaya berarti lahir, muncul, tampak, terbit, dan sebagainya. (Karim, 2007)
Asal Usul dan Perkembangan Wayang
Asal-usul dan perkembangan wayang tidak tercatat secara akurat seperti sejarah. Namun orang selalu ingat dan merasakan kehadiran wayang dalam kehidupan masyarakat. Wayang akrab dengan masyarakat sejak dahulu hingga sekarang, karena memang wayang itu merupakan salah satu buah usaha akal budi bangsa Indonesia. Wayang tampil sebagai seni budaya tradisional, dan merupakan puncak budaya daerah.
Menelisuri asal usul wayang secara ilmiah memang bukan hal yang mudah. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga kini banyak para cendikiawan dan budayawan berusaha meneliti dan menulis tentang wayang. Ada persamaan, namun tidak sedikit yang saling silang pendapat. Hazeu berbeda pendapat dengan Rassers begitu pula pandangan dari pakar Indonesia seperti K.P.A. Kusumadilaga, Ranggawarsita, Suroto, Sri Mulyono dan lain-lai.
Namun semuacendikiawan tersebut jelas membahas wayang Indonesia dan menyatakan bahwa wayang itu sudah ada dan berkembang sejak zaman kuna, sekitar tahun 1500 SM, jauh sebelum agama dan budaya dari luar masuk ke Indonesia.
Jadi, wayang dalam bentuknya yang masih sederhana adalah asli Indonesia, yang dalam proses perkembangan setelah bersentuhan dengan unsur-unsur lain, terus berkembang maju sehingga menjadi wujud dan isinya seperti sekarang ini. Sudah pasti perkembangan itu tidak akan berhenti, melainkan akan berlanjut di masa-masa mendatang.
Periodisasi Wayang
Periodisasi perkembangan budaya wayang juga merupakan bahasan yang menarik. Bermula zaman kuna ketika nenek moyang bangsa Indonesia masih menganut animisme dan dinamisme. Dalam alam kepercayaan animisme dan dinamisme ini diyakini roh orang yang sudah meninggal masih tetap hidup, dan semua benda itu bernyawa serta memiliki kekuatan. Roh-roh itu bisa bersemayam di kayu-kayu besar, batu, sungai, gunung dan lain-lain. Paduan dari animisme dan dinamisme ini menempatkan roh nenek moyang yang dulunya berkuasa, tetap mempunyai kuasa. Mereka terus dipuja dan dimintai pertolongan.
Untuk memuja roh nenek moyang ini, selain melakukan ritual tertentu mereka mewujudkannya dalam bentuk gambar dan patung. Roh nenek moyang yang dipuja ini disebut “hyang' atau 'dahyang'.
Orang biasa berhubungan dengan para hyang ini untuk meminta pertolongan dan perlindungan, melalui seorang medium yang disebut 'syaman'. Ritual pemujaan nenek moyang, hyang dan syaman inilah yang merupakan asal mula pertunjukkan wayang. Hyang menjadi wayang, ritual kepercayaan itu menjadi jalanya pentas dan syaman menjadi dalang. Sedangkan ceritanya adalah petualangan dan pengalaman nenek moyang. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa asli yang hingga sekarang masih dipakai. Jadi, wayang itu berasal dari ritual kepercayaan nenek moyang bangsa Indonesia disekitar tahun 1500 SM.
Berasal dari zaman animisme, wayang terus mengikuti perjalanan sejarah bangsa sampai pada masuknya agama Hindu di indonesia sekitar abad ke enam. Bangsa Indonesia mulai bersentuhan dengan peradaban tinggi dan berhasil membangun kerajaan-kerajaan seperti Kutai, Tarumanegara, bahkan Sriwijaya yang besar dan jaya. Pada masa itu wayang pun berkembang pesat, mendapat fondasi yang kokoh sebagai suatu karya seni yang bermutu tunggi.
Pertujukkan roh nenek moyang itu kemudian dikembangkan dengan cerita yang lebih berbobot, Ramayana dan Mahabarata. Selama abad X hingga XV, wayang berkembang dalam rangka ritual agama dan pendidikan kepada masyarakat. Pada masa ini telah mulai ditulis berbagai cerita tentang wayang. Semasa kerajaan Kediri, Singasari dan Majapahit kepustakaan wayang mencapai puncaknya seperti tercatat pada prasasti di candi-candi, karya sastra yang ditulis oleh Empu Sendok, Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu Tantular dan lain-lain. Karya sastra wayang yang terkenal dari zaman Hindu itu antara lain Baratayuda, Arjuna Wiwaha, Sudamala, sedangkan pergelaran wayang sudah bagus, diperkaya lagi dengan penciptaan peraga wayang terbuat dari kulit yang dipahat, diiringi gamelan dalam tatanan pentas yang bagus dengan cerita Ramayana dan Mhabarata. Pergelaran wayang mencapai mutu seni yang tinggi sampai-sampai digambarkan “hanonton ringit manangis asekel”, tontonan wayang sangat mengahrukan.
Menarik untuk diperhatikan cerita Ramayana dan Mahabarata yang asli berasal dari India, telah diterima dalam pergelaran wayang Indonesia sejak zaman Hindu hingga sekarang. Wayang seolah-olah identik dengan Ramayana dan Mahabarata. Namun perlu dimengerti bahwa Ramayana dan Mahabarata versi India itu sudah banyak berubah. Berubah alur ceritanya; kalau Ramayana dan Mahabarata India merupakan cerita yang berbeda satu dengan lainnya, di Indonesia menjadi kesatuan.
Dalam pewayangan cerita itu bermula dari kisah Ramamyana terus bersambung dengan Mahabarata, malahan dilanjutkan dengan kisah zaman kerajaan Kediri. Mahabarata asli berisi 20 parwa, sedangkan di Indonesia tinggal 18 parwa.
Yang sangat menonjol perbedaanya adalah falsafah yang mendasari kedua cerita itu, lebih-lebih setelah masuknya agama Islam. Falsafah Ramayana dan Mahabarata yangt Hinduisme diolah sedemikian rupa sehingga menjadi diwarnai nilai-nilai agama Islam. Hal ini antara lain nampak pada kedudukan dewa, garis keturunan yang patriarkhat, dan sebagainya. Wayang diperkaya lagi dengan begitu banyaknya cerita gubahan baru yang bisa disebut lakon “carangan”, maka Ramayana dan Mahabarata berbeda dengan aslinya. Begitu pula, Ramayana dan Mahabarata dalam pewayangan tidak sama dengan Ramayana dan Mahabarata yang berkembang di Myanmar, Thailand, Kamboja, dan di tempat-tempat lainnya. Ramayana dan Mahabarata dari India itu sudah menjadi Indonesia karena di warnai oleh budaya asli dan nilai-nilai budaya ada di Nusantara.
Di Indonesia, walaupun cerita Ramayana dan Mahabarata sama-sama berkembang dalam pewayangan, tetapi mahabarata digarap lebih tuntas oleh budayawan dan pujangan kita. Berbagai lakon carangan dan sampalan, kebanyakan mengambil Mahabarata sebagai inti cerita.
Masuknya agama Islam di Indonesia pada abad ke-15, membawa perubahan besar terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Begitu pula wayang telah mengalami masa pembaharuan. Pembaharuan besar-besran, tidak saja dalam bentuk dan cara pergelarantapi juga bahasa yang digunakan dalam mendalang, maksudnya bahasa yang telah disusun indah sesuai kegunaannya. Dalam seni pedalangan, kedudukan sastra amat penting dan harus dikuasai dengan baik oleh para pedalang.
Bentuk peraga wayang juga menunjukkan keaslian wayang Indonesia, karena bentuk stilasi peraga wayang yang imajinatif dan indah itu merupakan proses panjang seni kriya wayang yang dilakukan oleh para pujangga dan seniman perajin Indonesia sejak dahulu. Begitu Majunya seni kriya wayang ini, banyak yang berpendapat bahwa dalam aspek kriya dan seni rupa, wayang sudah mencapai tingkat 'seempurna'. Penilaian ini obyektif, tidak berlebihan, apabila dibandingkan dengan bentuk-bentuk peraga wayang atau seni boneka dari mancanegara.
Kekuatan utama budaya wayang, yang juga merupaka jati dirinya, adalah kandungan nilai falsafatnya. Wayang yang tumbuh dan berkembang sejak lama itu ternyata berhasil menyerap berbagai nilai-nilai keutamaan hidup dan terus dapat dilestarikan dalam berbagai pertunjukkan wayang.
Bertolak dari pemujaan nenek moyang, wayang yang sudah sangat relegius, mendapat masukkan agama Hindu, sehingga wayang semakin kuat sebagai media ritual dan pembawa pesan etika. Memasuki pengaruh agama Islam, kokoh sudah landasan wayang sebagai tontonan yang mengandung tuntunan yaitu acuan moral budi luhur menuju terwujudnya 'akhlaqul kharimah'.
Proses akulturasi kandungan isi wayang itu meneguhkan posisi wayang sebagai slah satu sumber etika dan falsafah yang secara tekun dan berlanjut disampaikan kepada masyarakat. Oleh karena itu ada pendapat, wayang itu tak ubahnya sebagai buku falsafah, yaitu falsafah Nusantara yang bisa dipakai sumber etika dalam kehidupan pribadi dan masyarakat.
Wyang bukan lagi sekedar tontonan bayang-bayang atau 'shadow play' , melainkan sebagai 'wewayangane ngaurip' yaitu bayangan hidup manusia. Dalam suatu pertunjukan wayang, dapat dinalar dan dirasakan bagaimana kehidupan manusia itu ldari lahir hingga mati. Perjalanan hidup manusia untuk berjuang menegakkan yang benar dengan mengalahkan yang salah. Dari pertunjukkan wayang dapat diperoleh pesan untuk hidup penuh amal saleh guna mendapatkan keridhoan Illahi.
Wayang juga dapat secara nyata menggambarkan konsepsi hidup 'sangkan paraning dumadi', manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali keharibaan-Nya. Banyak ditemui seni budaya semacam wayang yang dikenal dengan 'puppet show', namun yang seindah dan sedalam maknanya menandingi Wayang Kulit Purwa.
Itulah asal usul wayang Indonesia, asli Indonesia yang senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Secara dinamis mengantisipasi perkembangan dan kemajuan zaman.
Jenis-Jenis Wayang
  1. Wayang Purwa (Purwa=dahulu=pertama=menggambarkan periode zaman pertama), Menggambarkan cerita Mhabarata dengan pokok cerita “baratayuda” yakni perang saudara Pandawa melawan Ngastina memperebutkan kerajaan ynag akhirnya dimenangkan oleh Pandawa. Cerita Wayang purwa ini mula-mula diwujudkan sebagai lukisan pada daun lontar dan diciptakan oleh Prabu Jayabaya raja Kediri yang kemudian setelah mengalami zaman Majapahit dan Demak berubah bentuk serta bahannya sebagai berwujud seperti sekarang ini. Yakni dilukis dipahat dari samping pada kulit binatang. (lihat asal-usul perkembangan Wayang Purwa). Jumlah seluruhnya sebanyak 400-500 buah.
  2. Wayang Madya (zaman tengah), Wayang ini ciptaan Mangkunagara IV Surakarta. Ceritanya merupakan lanjutan cerita Wayang Purwa, yakni sesudah Prabu Parikesit dan seterusnya sampai zaman kerajaan Jenggala Kediri. (Sedang Raden Samsudjin Proboharjono berpendapat bahwa ceritanya saduran dari karangan Punjangga Raden Ngabehi Ronggowarsito).
  3. Wayang Gedog (Kedok=topeng) yang menciptakan wayang ini adalah Sunan Giri. Isi ceritanya adalah lanjutan Wayang Madya, yakni sejak zaman Jenggala sampai kerajaan Pajajaran. Kalau dalam pewayangan ada periode zaman Purwa dan Madya. Gedog inilah zaman akhirnya. (Sedang Raden Samsudjin Probiharjono berpendapat bahwa “gedok” berarti: 1. gedongan, 2. kandang kuda, 3. Dodokan katak, suaranya dan lain-lain. Wayang Gedokmenceritakan zaman Kediri (Daha), Panji Asmarabangun. Cerita ini zaman sebelum Majapahit sudah ada. Sedang Wayang Kulit Gedog ciptaan zaman awal Surakarta oleh Mangkunegara IV).
  4. Wayang Krucil atau Wayang Klitik, (Krucil mempunyai sifat kecil, sedang klitik mengandung unsur keras) (banyak pendapat). Wayang ini bentuknya kecil-kecil dan bahannya dibuat dari kayu. Jumlahnya hanya 70 buah. Isinya ceritanya menggambarkan sejarah kerajaan Pajajaran sampai dengan kerajaan Majapahit akhir.
  5. Wayang Dupara, Wayang ini diciptakan belum lama, yaitu oleh Sri Susuhunan Paku Boewana ke X Surakarta. (Pendapat Raden Samsudjin Proboharjono agak lain. Penciptanya Raden Danuatmojo keponakan Sri Mangkunegoro ke IV, kira-kira tahun 1900 lebih sedikit). Ceritanya menggambarkan kerajaan Demak, Pajang, Mataram, sapai dengan Kartosuro berikut Kapten Tack-nya.
  6. Wayang Jawa, Penciptanya Dutadilaga Sala. Isi ceritanya sejarah kerajaan Demak sampai dengan Mataram Habis. Keitimewaan wayang ini ialah dapat juga digunakan untuk menggambarkan cerita Menak, sahabat Nabi Muhammad s.a.w. (Pendapat Raden Samsudjin Proboharjono , Menak asal kata “wong sing kepenak” orang yang selalu enak hidupnya, luhur. Misalnya cerita Amir Kamzah).
  7. Wayang Golek, Wayang ini bentuknya seperti dengan boneka yang bahannya dari kayu, jumlahnya 70 buah. Yang masih banyak kini di Cepu dan Bojonegoro. Isi ceritanya riwayat Menak, hubungan negeri Arab dan Persia pada zaman awal islam. Di Jawa Barat juga banyak wayang ini, hamya pakaiannya seperti pakaian orang jawa dulu. Dagelannya Petruk diganti namanya dengan Cepot. Di Jawa Barat yang terbanyak di Priangan.
  8. Wayang Menak, Penciptanya Trunadipa K. Dukun di Baturana Sala. Isinya hanya khusus menggambarkan riwayat Menak Sejak lahir, anak, dewasa, tua sampai mati. Wayangnya berjumlah 150 buah. (Pendapat Raden Samsudjin Proboharjono menambahkan, bahwa ceritanya Wong Agung Menak Jayengmurti alias Amir Hamzah hingga lahirnya Nabi Muhammad s.s.w, dan berkembangnya agama Islam. Creitanya disusun oleh pujangga R. Ngabehi Yosodipuro 1, Surakarta).
  9. Wayang kancil, Penciptanya Bah Bo Liem seorang Tionghoa tahun 1925 di Sala. Isi ceritanya dongeng Kancil dan Binatang terutama untuk ditunjukkan pada anak-anak.
  10. Wayang Perjuangan atau Wayang Sandiwara, Mulanyaisinya menggambarkan contoh kebaikan dan keburukan beranama Wayang Sandiwara. Setelah tahun 1945 diganti namanya dengan Wayang perjuangan. Isi ceritanya menngambarkan betapa kejamnya kolonal belanda selama 350 tahun. Penjajahan Jepang tiga setengah tahun, hingga zaman kemerdekaan. R.M. Sajid Sala tahun 1944 turut mencipta. Ada yang menamakan Wayang Suluh yang menggunakan Jawatan Penerangan R. I. Untuk Suluh Penerangan. (Raden Samsudjin Proboharjono berpendapat, bahwa Wayang Perjuangan (Suluh) diciptakan oleh Badan Kongres Pemuda R.I tahun 1946/1947 di Yogyakarta. Bentuknya realistis seperti manusia biasa. Menggambarkan tokoh-tokoh pejuang tanah air ditahun 1945 seperti Bung Karno, Drs. Mohammad Hatta, Sutan Syahriri, Jenderal Soedirman, h. Agus Salim, untuk menerangkan suasana revolusi bersenjata untuk merebut kemerdekaan dari penjajah). (Menurut penjelasannya R. Samsoedjin adalah dalang pertama melakonkan wayangperjuangan tersebut, Penyalin).
  11. Wayang Beber, Wayang Beber ini mula sekali diciptakan pada zaman Majapahit. Isi ceritanya adalah Wayang Purwa. Ini misalnya sebagai hasil perkembangan dari gambar relief pada candi Panataran dan kemudian jadi Wayang Purwa. Wayang Beber ini terdiri dari adegan-adegan yang dilukiskan pada kain yang dihaluskan Dahulu dilukis pada lulup kulit kayu waru. Umumya satu cerita berisi 16 adegan dan terdiri dari 4 gulungan, jadi tiap gulungan terdiri 4 adegan. Berbeda dengan wayang-wayang lain, Wayang Beber ini, setelah dibeber wayang itu tidak dipegang oleh si Dalang, dia hanya menceritakan seja dari balik gambar. (Tidak dimuka seperti wayang-wayang yang lain). Umumnya selama 2jam selesai.
  12. Wayang Topeng, Wayang yang pelaku-pelakunya masing-masing pakai topeng. Sandiwara semacam ini terdapat berbagai bangsa di seluruhdunia. Di Indonesia sandiwara topeng itu juga terdapat pada suku-suku bangsa yang tidak terpengaruh oleh kebudayaan Hindu. Misalnya pada suku bangsa Dayak.
  13. Wayang Wong, Wayang ini diciptakan sejak Mangkunegoro IV Surakarta. Isi ceritanya seperti Wayang Purwa. Hanya tokoh-tokoh pelakunya orang. Dinamakan di panggung, dekor-dekor semacam sandiwara, walaupun demikian masih memakai dalang juga. Wireng adalah potongan (petilan) cerita wayang orang yang berwujud peperangan-peperangan. (Zarkasi, 1996: 53-58)
Bentuk-Bentuk akulturasi islam terhadap Seni Wayang
Wayang Kulit Purwa Pada zaman Demak, Oleh para wali dan pujangga jawa direkayasa dan dibesut sedemikian rupa sehingga selain merupakan sarana hiburan yang menarik, juga mampu dipakai sebagai sarana komunikasi massa dan dakwah agama Islam. Nilai-nilai yang bersumber dari agama Islam. Begitu cermatnya para wali dan pujangga jawa saat itu dalam mengembangkan budaya wayang dan seni pedalangan, sehingga budaya ini menjadi bernuansa Islam, dan dapat selaras dengan perkembangan masyarakat masa itu.
Bertolak dari nilai-nilai dan missi yang diemban, maka wayang mengalami perubahan substansial antara lain tampak pada:
Pertama, Bentuk atau seni rupa wayang yang semula seperti relief wayang di candi-candi, menjadi imajinatif dalam arti tidak seperti bentuk manusia. Seluruh anggota badan tetap lengkap atau fungsional namun tidak proposional. Walaupun bentuk wayang tidak proposional akan tetapi sangat serasi sehingga terkesan indah sekali. Barangkalai ini suatu pengejawantahan yang tepat dari konsep menolak berhala, namun tetap dapat mengahdirkan tokoh wayang sebagai gambaran manusia lengkap dengan nama dan sifat-sifatnya.
Kedua, Pertunjukkan wayang pada malam hari yang memakan waktu 7-8 jam, mulai bakda Isya' hingga menjelang subuh, biasanya disebut semalam suntuk. Waktu pertunjukkan itu merupakan saat yang tepat sekali untuk mendekatkan diri pada Tuhan, berbicara dan memikirkan hal-hal yang baik seraya memohon ridho Allah. Tema lakon wayang senantiasa berkisar perjuangan yang baik melawan yang buruk, yang benar melawan yangsalah, yang hak mengalahkan yang batil. Tidak salah lagi kalau ditafsirkan pergelaran wayang semalam suntuk adalah suatu 'dzikir', perjalanan kejiwaan memahami hakekat hidup, mendekatkan dari pada Dzat Yang Maha Kuasa.
Karena seni wayang itu dilandasi oleh nilai-nilai agama sejak zaman hindu hingga Islam, Maka pertunjukkan wayang sangat relegius. Semua pesan etika maupun falsafah bersumber pada kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa. Cerita Ramayana dan Mahabarata lengkap dengan para dewa tetap dipertahankan dan dikembangkan. Begitu jauh perkembangannya, sehingga cerita Ramayana dan Mahabarta dari india itu berbeda sekali dengan penerapannya dalam pergelaran wayang di Indonesia, utamanya Wayang Kulit Purwa dan Golek Purwa Sunda.
Perbedaan yang mudah dilihat adalah kedudukan para dewa. Konsepsi kedewaan dalam Wayang Kulit Purwa dan Golek Purwa Sunda sudah bergeser. Dewa dan manusia merupakan makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Mengenai alam dewa ini, lebih jauh dr. Soedjarwo, salah seorang pembina dan pakar wayang menegaskan bahwa dewa itu makhluk ciptaan Tuhan yang jumlajnyamelebihi jumlah manusia dan hidup dalam alamnya sendiri. Dewa itu bertingkat-tingkat sesuai derajatnya, yang paling tinggi Batara Guru sebagai raja dan jajaran dewa lain di bawahnya. Pada umumnya para dewa ini baik-baik, namun ada pula yang jahat, seperti Batara Kala.
Selanjutnya pada tahun 1443 Saka, bersamaan dengan pergantian pemerintahan jawa yang berdasarkan agama Budha (Majapahit), berganti dengan dasar ke-Islaman Agama Islam (Demak), lalu wujud wayang Beber (gambar) lalu dibangun jadi wayang kulit terperinci satu persatu tokoh-tokohnya. Yang mengerjakan pembangunan ini para wali. Yang demikian itu artinya para pengemuka agama Islam telah dapat menghilangkan unsur-unsur kemusyrikan. Sebab dalam Islamtelah terdapat hukum tentang gambar-gambar itu ada 3 macam, yaitu wenang (mubah), makruh, dan musyrik. Menurut Ki Sis waharsaya, yang telah menulis dalam buku “Serat Guna Tjara Agama” berpendapat sebagai berikut:
  1. Yang hukumnya mubah ialah semua gambar-gambar yang menerangkan pelajaran, hiasan rumah, gambar hutan, pegunungan, hewan dan lain sebagainya.
  2. Yang hukumnya makruh, ialah semua gambar-gambar yang melanggar kesusilaan yang mendorong pada perbuatan nyeleweng, seperti gambar telanjang dan sebagainya.
  3. Yang umumya mussyrik, yaitu gambar-gambar menyebabkan adanya pemujaan yang mengakibatkan tipisnya iman kepada Allah s.w.t.
Bab 2 dan 3 itu dalam Islam dilarang, terutama Bab 3. Padahal gambar wayang Beber itu jelas sekali musyrik. Sebab, pemujaan orang banyak terhadap wayang Beber waktu itu , tidak saja diselenggarakan dengan saji-sajian, tetapi sampai beritikad bahwa dengan wayang Beber itu orang menolak bahaya yang akan menimpa, yaitu adanya tata-cara ngruwat (nebusi anak tunggal) atau murwakala. (Zarkasi, 1996: 69-70).
Kemudian cerita yang digunakan dalam seni pewayangan sebelum islam adalah Ramayana dan Mahabarata. Ranayana ialah kitab karangan Walmiki (hindu). Kitab ini lebih tua daripada Mabarata. Di negeri Hindu, Ramayana termasuk kitab golongan orang memeluk agama Wisnu. Sedangkan Mahabarata kitab orang Siwa. Kitab Ramayana (di Jawa) berbahasa Jawa kuna dan berbentuk Syair. Kitab Ramayana ini (berbahasa Jawa Kuna) kira-kira dibuat tatkala bertahta raja Diyah Balitung. Raja terkenal yang menguasai Jawa Tengah dan Jawa Timur, beristanakan di Mataram kira-kira tahun 820-832 Saka. Adapun kitab Ramayana berbahasa Jawa Kuna mengisahkan cerita Prabu Rama, seperti kitab Ramayana berbahasa Sansekerta bauatan Walmiki. Walaupun demikian ada juga bedanya. Pada Ramayana Sansekerta Sita (istri Rama) sesudah pulang ke Ayodya lalu berpisah dengan Sang Rama. Sedangkang dikitab Ramayana Jawa Kuna sang Sita lalu terus kumpul lagi dengan Sang Rama. Selain itu ramayana Jawa Kuna apabila dibandingkan dengan Ramayana Walmiki, termasuk pendek (ringkas) sekali, tidak berlarut-larut. Dan telah diketahui bahwa indul Ramayana Jawa Kuna itu memang bukan Ramayana Walmiki. (Zarkasi, 1996: 64).
Setelah Islam datang Maka cerita wayang tersebut disesuaikan dengan ajaran agama Islam. Para wali dan pujangga membuat lakon tambhan dari cerita Ramayana dan Mahabarata, diantaranya yaitu Lakon Jimat Kalimasada, Lakon Mustaka Weni, Lakon Petruk Dadi Ratu, Lakon Parto Dewa Atau Harjunawiwaha dan Lakon Dewa Ruci. Seta mereka juga menciptakan tokoh-tokoh tambahan yang tidak ada dalam kitab Ramayana dan Mahabarata seperti Semar, Gareng, Petruk, Bagong, antareja, antasena, Wisanggeni dan Gandamana.
KESIMPULAN


  1. Seni dalam Islam ialah seni dekoratif-ornamental maksudnya tidak untuk disembah. Sikap seperti ini kemudian mempunyai pengaruh yaitu ketika umat Islam sudah merasa aman dan melihat benda-benda seni tidak lebih dari sekedar dekorasi dan ornamen, mereka bisa menerima semua bentuk seni, termasuk patung. Maka almarhum Buya Hamka pernah membuat fatwa bahwa seni patung itu sekarang halal. Sebab umat Islam sudah memandangnya hanya sebagai dekorasi dan ornamen. (Rachman, 2008: 2990-2991).
  2. Wayang dapat diartikan sebagai gambar atau tiruan orang dibuat dari kulit, kayu untuk pertunjukkan sesuatu tokoh. (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1976: 1150). Wayang juga dapat diartikan sebagai 1. Boneka tiruan orang yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dan sebagainya yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukkan drama tradisional (Bali, Jawa, Sunda, dsb) biasanya dimainkan oleh seseorang yang disebut dalang 2. Pertunjukan wayang 3. Bayang-bayang. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005: 1271).
  3. Akulturas dapat diartikan sebagai percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005: 24).
  4. Budaya dapat di artikan sebagai pikiran, akal budi. (Kamus Besar Bhasa Indonesia, 2005: 169). kata budaya apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Sansekerta adalah bodhoday yang merupakan gabungan dari dua kata yaitu bodh dan udaya. Bodh berarti sadar, bangun, insaf, pengertian, penalaran, ilmu, dan sebagainya. Udaya berarti lahir, muncul, tampak, terbit, dan sebagainya. (Karim, 2007)
  5. Wayang Indonesia itu sudah ada dan berkembang sejak zaman kuna, sekitar tahun 1500 SM, jauh sebelum agama dan budaya dari luar masuk ke Indonesia.Jadi, wayang dalam bentuknya yang masih sederhana adalah asli Indonesia, yang dalam proses perkembangan setelah bersentuhan dengan unsur-unsur lain, terus berkembang maju sehingga menjadi wujud dan isinya seperti sekarang ini. Sudah pasti perkembangan itu tidak akan berhenti, melainkan akan berlanjut di masa-masa mendatang. (Sena Wangi, 1999: 29)
  6. Dalam perkembangannya wayang menjadi berbagai jenis diantaranya wayang Purwa, Wayang Madya, Wayang Gedog, Wayang Krucil, Wayang Dupara, Wayang Jawa, Wayang Golek, Wayang Menak, Wayang Kancil, Wayang Perjuangan atau Wayang Sandiwara, Wayang Beber, Wayang Topeng dan Wayang Wong.(Zarkasi, 1996: 55-58)
  7. Bentuk pertama wayang adalah wayang Batu yang dipahat di dinding candi, tergolong wayang tertua kemudian disusul Wayang Beber. Wayang generasi selanjutnya adalah wayang Majapit atau wayang Bali, lalu Wayang Purwa Jawa Tengah dan Wayang Golek sunda. ( Sena Wangi, 1999: 30).
  8. Wali dan pujangga Islam meruba bentuk dan cerita wayang untuk menyesuaikan dengan ajaran agama Islam, sehingga keadaannya sudah jauh berbeda dengan wayang zamam Hindu yang mengambil cerita dari kitab Mahabarata dan Ramayana.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Hariwidjoyo, Atmo. 2011. Wayang dan Karakter Manusia Dalam Kehidupan Sehari-hari.Yogyakarta: Absolut.
Poerwadarminta. W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Rachman, Budhy Munawar. 2007. Ensiklopedi Nurcholis Madjid Jilid 1dan 2. Indramayu: Al-Zaytun.
Tim Penulis Sena Wangi. 1999. Ensiklopedi Wayang Indonesia. Jakarta: Sekertariat Pewayangan Indonesia.
Yasasusastra, J. Syahban. 2011. Mengenal Wayang Tokoh Pewayangan Biografi, Bentuk dan Perwatakannya. Yogyakarta: Pustaka Mahardika.
Zarkasi, Efendi. 1996. Unsur-Unsur Islam Dalam Pewayangan Merupakan telaah atas penghargaan Walisangga terhadap wayang untuk media da'wah Islam. Jakarta: PT Margi Wahyu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar