NIKAH
SIRRI
76.Syaikhul
Islam Rahimahullah pernah ditanya: tentang seorang laki-laki
yang menikahi perempuan dengan cara “Mushafahah”, yakni: Nikah
sirri yaitu nikah yang tanpa wali tanpa saksi, dengan maskawin dinar,
setiap tahun setengah dinar, dan ia telah tinggal bersamanya dan
mencampurinya. Apakah pernikahannya itu sah ataukah tidak? Dan
apabila keduanya itu dikaruniai seorang anak apakah bias mewarisi
ataukah tidah? Dan apakah keduanya kena hukuman had ataukah tidak?
Ia
menjawab: sebagala puji bagi allah, apabila laki-laki itu mengawini
perempuan tanpa wali dan saksi-saksi, serta merahasiakan pernikahan,
maka menurut kesepakatan para Imam pernikahan itu bathil, bahkan
menurut para ulama, karena
“Tidak ada pernikahan
kecuali dengan adanya wali.”
Hadis:
“Perempuan yang mana
saja kawin tanpa izin walinya maka pernikahannya Bathal, maka
pernikahannya bathal, maka pernikahannya batal."1
Kedua lafadz ini ma’tsur
dalam kitab Sunan dari Nabi Shallahuallahu alaihi wa
Sallam. Dan beberapa orang ulama salaf mengatakan: “ Tidak ada
pernikahan melainkan dengan dua saksi.” Demikian ini pendapat Abu
Hanifah, syafi’I dan ahmad, sedang Malik mewajibkan meramaikan
pernikahan.Pernikahan sirri sejenis pernikahan pelacur, allah
Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
“Mereka
perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan
(pula) perempuan yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. “
(An-Nisa’: 25).
Maka pernikahan sirri itu
termasuk jenis dzawatil akhdan (perempuan yang mempunyai
laki-laki piaraan).
Firman Allah Subhanahu
wa Ta'ala:
“Kawinilah
janda-janda di antara kamu. “ (Al-Baqarah:
221).
Dan
firman-Nya:
“Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musrik (dengan
perempuan-perempuan mukmin) sebelum mereka beriman. “ (An-Nur:
32).
Maka
disyariatkan laki-laki meminang untuk mengawini perempuan-perempuan,
oleh karena ini di antara ulama salaf ada yang berpendapat: bahwa
perempuan itu tidak bisa menikahkan dirinya, dan sesunguhnya
perempuan pelacur itu adalah yang menikahkan dirinya. Tetapi jika
berkeyakinan bahwa ini pernikahan yang dibolehkan, maka bercampur
dalam pernikahan itu adalah bercampur yang syubhat, anaknya
dihubungkan kepadanya, dan ia bisa mewarisi bapaknya. Adapun tentang
sangsi, maka keduanya berhak menerima sangsi pada pernikahan seperti
ini.
76.
Syaikhul Islam Rahimahullah
pernah ditanya: tentang
seseorang laki-laki kawin secara “Mushafahah”. Lalu perempuan itu
tinggal bersama lak-laki itu selama beberapa hari, kemudian diketahui
bahwa perempuan itu mempunyai suami lain. Selanjutnya
suami, isteri dan suaminya yang pertama atau yang kedua? Perempuan
itu memilih yang kedua, lalu yang pertama menthalaknya, dan
dituliskan untuk isteri supaya ia menyempurnakan iddahnya, dan suami
itu sempurna bersamanya. Apakah sah demikian itu untuk peempuan atau
tidak?
Ia
menjawab: Apabila perempuan itu dikawinkan dengan suami yang kedua
sebelum habis iddah suami yang pertama, dan suami yang pertama telah
menikahkannya baik karena rusaknya pernikahan atau karena laki-laki
itu menthalaknya, atau karena keduanya diceraikan hakim, maka
nikahnya rusak dan ketiganya
berhak menerima sangsi, yaitu perempuan,
laki-laki dan orang yang mengawinkannya, bahkan perempuan
itu harus menyempurnakan iddah suami pertama. Kemudian jika yang
kedua telah mengumpulinya maka perempuan itu iddah lagi untuk suami
yang kedua. Telah selesai dua iddah ini maka perempuan itu boleh
dikawinkan dengan siapa saja yang dikehendaki, dengan suami yang
pertama, suami yang kedua atau selain keduanya.
Sumber:
Judul
Asli: ahkamuz-Zawaaj
Penulis:
Imam Al-'Alamah Taqiyuddin Ibnu Taimiyah
Tahqiq:
Muhammad Abdul Qadir “Atha
Terbitan
: Darul-Kutubil “Ilmiyah, Bairut-Libanon
Judul
Edisi Indonesia: Hukum-Hukum Perkawinan
Penerjemah:
Rusnan Yahya
Editor:
Amir Hamzah
Desain
sampul: Erlan
Cetakan:
Pertama, april 1997
Penerbit:
pustaka Al-Kautsar Jl. Kebon Nanas Utara II/2 Jakarta Timur 13340
Telp. (021) 8199992
1(Hadis
pertama tersebut diriwayatkan Bukhari dalam kitab Shahihnya, bab
36 dari Nikah. Diriwayatkan abu Dawud dalam kitab Sunnanya,
bab 19 dari kitab Nikah). Diriwayatkan Tirmidzi dalam kitab
Sunannya, bab 14, 17 dari
kitab Nikah. Diriwayatkan
Ibnu Majah dalam kitab Sunannya,
bab 15 dari kitab Nikah. Diriwayatkan
Darimi dalam kitab Isunannya, bab
11 dari kitab Nikah, dan
diriwayatkan Ahmad bin Hambal dalam Al-Musnad
1/250, 4/394, 413, 418; 6/260.
Hadis
kedua diriwayatkan Abu Dawud dalam kitab Sunannya, bab 19
dari kitab Nikah. Diriwayatkan Tirmidzi dalam kitab Sunannya,
bab 14 dari kitab Nikah. Diriwayatkan
Ahmad dalam Al-Musnad
6/166.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar