Konsep takhallî, tahallî, dan tajallî
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pemikiran Islam
Dosen pengampu : Abdulah Mahmud M.ag
Disusun Oleh :
Suranto (G00100068)
Ali Ma'ruf. F (G000100074)
Prodi : TARBIYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
SURAKARTA
2011
PENDAHULUAN
Tasawuf Akhlaki
Dalam pandangan kaum sufi, manusia cenderung mengikuti hawa nafsu. Manusia dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu pribadi, bukan hawa nafsu yang mengendalikan hawa nafsunya. Ia cenderung inginmenguasai dunia atau berusaha agar berkuasa di dunia. Cara hidup ini menurut al-Gazali, akan membawa manusia ke jurang kehancuran moral. Sebab sadar atau tidak, lambat atau cepat, manusia akan terbawa kepada pemujaan dunia. Kenikmatan kehidupan dunia akan menjadi tujuan utama, bukan sebagai jembatan atau sarana untuk menuju kebahagiaan dan kenikmatan yang hakiki.
Pandangan seperti itu menjurus ke arah pertentangan manusia dengan sesamanya, sehingga ialupa akan wujud dirinya sebagai hamba Allah yag harus berjalan di atas aturan-aturan-Nya. Karena sebagaian besar waktu dihabiskan untuk persoalan-persoalan duniawi, ingatan dan perhatiannya pun jauh dari Tuhan. Itu semua, kata al-Gazali, disebabkan oleh tidak terkontrolnya hawa nafsu.1
Sebenarnya, manusia tidak boleh mematikan sama sekali nafsunya, tetapi ia harus menguasainya agar nafsu itu tidak sampai membawa kepada kesesatan. Nafsu adalah salah satu potensi yang diciptakan Tuhan di dalam diri manusia agar ia dapat hidup lebih maju, penuh kreativitas, dan bersemangat. Jika manusia tidak mempunyai nafsu, tidak akan ada kemajuan dalam kehidupan mereka. Tak ada kompetisi di antara mereka untuk memenuhi tuntutan hidup yang selalu berkembang setiap saat.Memang, nafsu manusia, sebagaimana diterangkan al-Qur'an, mempunyai kecendrungan untuk baik dan buruk. Nafsu akan menjadi baik jika ia dibersihkan dari pengaruh-pengaruh jahat dengan menanamkan ajaran-ajaran agama sejak dini sehingga tabiat nafsu yang jahat itu dapat dikendalikan, (QS. 91: 7-10). Orang yang tidak bisa mengendalikan nafsunya, dikatakan Allah, sebagai orang yang menuhankan hawa nafsu (QS. 45: 23), dan menyimpang dari kebenaran (QS, 4:135).
Rehabilitasi kondisi mental yang tidak baik, menurut orang sufi, tidak akan berhasil baik apabila terapinya hanya dari aspek lahiriah. Itu sebabnya, pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seorang murid diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat. Tujuannya adalah untuk menguasai hawa nafsu dalam rangka pembersihan jiwa untuk dapat berada di hadirat Allah. Tindakan manusia yang dikendalkan hawa nafsu dalam mengejar kehidupan duniawi, merupakan tabir penghalang antara manusia dan Tuhan. Sebagai usaha menyingkap tabir yang membatasi manusia dengan Tuhan, ahli tasawuf membuat suatu sistem yang tersusun atas dasar didikan tiga tingkat yang dinamakan takhalli, tahalli dan tajalli,yang masing-masing akan diuraikan sebagai berikut:
PEMBAHASAN
Takhalli
Takhalli, berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, dari maksiat lahir dan maksiat batin. Di antara sifat-sifat tercela yang mengotori jiwa (hati) manusia ialah hasad (dengki), hiqd (rasa mendongkol), su'u al-zaann (buruk sangka), takkabur (sombong), 'ujub (membanggakan diri), riya' (pamer), bukhl (kikir), dan gadab (pemarah). Dalam hal ini Allah SWT berfirman: Sesungguhnya berbahagialah orang yang mensucikan jiwanya, dan rugilah orang yang mengotorinya., (QS. 91:9-10).
Takhalli juga berartimengosongkan diri dari sikap ketergantungan terhadap kelezatan kehidupan duniawi. Hal ini akan dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha melenyapkan dorongan hawa nafsu jahat.
Menurut orang-orang sufi, kemaksiatan pada dasarnya dapat dibagi dua: Masiat lahir dan maksiat batin. Maksiat lahir ialah segala sifat tercela yang dikerjakan oleh anggota lahir seperti tangan, mulut dan mata. Maksiat batin ialah segala sifat tercela yang diperbuat oleh anggota batin, yaitu hati. Imam al-Gazali menyebut sifat-sifat tercela ini dengan sebutan sifat-sifat muhlikat, yaitu segala tingkah laku manusia yang dapat membawanya kepada kebinasaan. Ia juga menyebutnya sebagai suatu kehinaan (razilah). Karena itu, al-Gazali menamakan marah dengan razilah al-gadab (kehinaan marah), dengki dengan razilah al-hasad (kehinaan dengki) dan lain sebagainya. Pembicaraan tentang sikap atau kelakuan yang tercela ini dalam tasawuf atau akhlak lebih didahulukan daripada pembicaraan tentang sikap atau kelakuan yang terpuji karena ia termasuk usaha takhiliyah (mengosongkan diri dari sifat-sifat tercela) sambil mengisinya (tahliyah) dengan sifat-sifat yang terpuji.
Membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercla, oleh orang-orang sufi dipandang karena sifat-sifat itu merupakan najis maknawi(najasah ma'nawiyah). Adanya najis-najis ini pada diri seseorang menyebabkan ia tidak mungkin dekat kepada Tuhan, sebagaimana kalau mempunyai najis zati (najasah suriyah), ia tidak mungkin dapat mendekati atau malakukan ibadah yang diperintahkan Tuhan.
Tahalli
Tahalli, yakni mengisi diri dengan sifat-sifat terpuji, dengan taat lahir dan taat batin. Dalam hal ini Allah SWT berfirman: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kaum kerabat dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan pemusnahan. Dia memberi pengajaran kepadanu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. 16:90).
Tahalli juga berarti menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta perbuatan yang baik. Berusaha agar dalam setiap gerak perilaku selalu berjalan di atas ketentuan agama, baik kewajiban yang bersifat “luar” atau ketaatan lahir yang bersifat “dalam” atau ketatan batin. Yang dimaksud dengan ketaatan lahir/luar, dalam hal ini, adalah kewajiban yang bersifat formal seperti salat, puasa, zakat, haji dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan ketaatan batin/dalam adalah seperti iman, ikhlas dan lain sebagainya.
Tahalli ini merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan pada tahap takhalli. Dengan kata lain, sesudah tahap pembersihan diri dari segala sifat dan sikap mental yang tidak baik dapat dilalui (takhalli), usaha itu harus berlanjut terus ketahap berikutnya yang disebut tahalli. Sebab, apabila satu kebinasaan telah dilepaskan tetapu tidak ada penggantinya, maka kekosongan itu dapat menimbulkan frustasi. Prakteknya, pengisian dengan sifat-sifat yang telah dikosongkan dari sifat-sifat yang buruk, tidak berarti jiwa harus dikosongkan lebih dulu, baru kemudian diisi. Akan tetapi harus dengan cara, kita menghilangkan kebiasaan yang buruk bersamaan dengan itu diisi dengan kebiasaan yang baik. Atau seperti mengobati suatu penyakit, bahwa hilangnya suatu penyakit pada seseorang karena adanya atau masuknya obat ke dalam tubuhnya.
Apabila manusia mampu mengisi hatinya (setelah dibersihkan dari sifat-sifat tercela) dengan sifat-sifat terpuji, maka ia akan menjadi cerah dan terang, sehingga dapat lagi menerima cahaya Ilahi. Jadi hati yang belum dibersihkan tidak akan dapat menerima cahaya tersebut.
Manusia yang mampu mengosongkan hatinya dari sifat-sifat tercela (takhalli), sehingga perbuatan dan tindakannya dengan sifat-sifat yang terpuji (tahalli), segala perbuatan dan tindakannya sehari-hari berdasarkan niat yang ikhlas. Ia ikhlas melakukan ibadah kepada Allah, ikhlas mengabdi kepentingan agamanya, ikhlas bekerja untuk melayani kepentingan masyarakat dan negaranya. Ikhlas berbuat kebaikan, memberi pertolongan dan bantuan kepada sesama. Artinya tanpa mengharapkan suatu balasan atau embel-embel lain seperti kata peribahasa: Ada udang dibalik batu. Seluruh hidup dan segala gerak kehidupanya diikhlaskan untuk mencari kerelaan Allah semata. Karena itulah manusia yang seperti in dapat mendekatkan diri kepada-Nya.
Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan mental itu disempurnakan pada fase tajalli. Tajalli berarti terungkapnya nur gaib untuk hati. Dalam hal ini kaum sufi mendasarkan pendapatnya pada firman Allah SWT: Allah adalah nur (cahaya) langit dan bumi (QS. 24:35). Selanjutnya Mustafa Zahri dalam bukunya Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf merumuskan arti tajalli sebagai berikut: “Tajalli ialah lenyapnya/hilangnya hijab dari sifat-sifat kebasyariahan (kemanusiaan), jelasnya nur yang selama itu gaib, fananya/lenyapnya segala yang lain ketika nampaknya wajah Allah.2
Berdasarkan ayat al-Qur'an di atas, kaum sufi yakin bahwa seseorang dapat memperoleh panancaran nur Ilahi. Demikianlah Allah tampak dengan af'al, amsa', sifat dan zatNya. Mustahil orang dapat menutupi cahaya, sedang cahaya itu terpancar dalam segala yang tertutup, apalagi Allah adalah cahaya langit dan bumi. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah itu tampak bagi manusia umumya dan bagi Abu Bakr Khususnya”.
Imam al-Gazali pernah mengatakan bahwa “tersingkapnya hal-hal yang gaib yang menjadi pngetahuan kita yang hakiki karena nur yang dipancarkan Allah ke dalam dada (hati) seseorang”. Tegasnya berkata: “Hal itu tidaklah didapat dengan menyusun dalil dan menata argumentasi, tetapi karena nur yang dipancarkan Allah ke dalam hati; dan nur ini merupakan kunci untuk sekian banyak pengetahuan. Maka barangsiapa mengira bahwa tersingkapnya itu tergantung pada dalil-dalil semata, maka sesungguhnya dia telah menyempitkan rahmat Allah yang luas”. Ketika Rasulullah SAW ditanya tentang arti “melapangkan dada” dalam firman Allah SWT: Barangsiapa yang hendak diberi Allah petujuk, maka dilapangkanNya dadanya untuk islam. (QS. 6:125), beliau berkata; Itu adalah nur yang dimasukkan Allah ke dalam hati.” Kemudian ketika ditanya tentang tanda-tandanya, beliau menjawab: “Menjauhi dunia yang menipu dan menghadap dengan sepenuh hati kedalam abadi.” Dalam hubungan ini beliau berkata pula: Allah SWT telah menciptakan seluruh makhluk dalam kegelapan, lalu dipercikanNyamereka sebagian dari nurNya. Dengan nur inilah seharusnya dicari kasyf. Nur ini memancar dari kemurahan Ilahi pada waktu-waktu tertentu, di mana orang harus berjaga-jaga untuk menerimanya. Rasulullah SAW bersabda: “Ada saat-saat tiba karunia dari Tuhanmu, maka siapkanlah dirimu untuk itu.”3
Karena itulah setiap calon sufi mengadakan latihan-latihan jiwa (riyadah), berusaha membersihkan dirinya dari sifat-sifat yang tercela, mengosongkan hati dari sifat-sifat yang keji, melepaskan segala sangkut paut dengan dunia, lalu mengisi dirinya dengan siat-sifat yang terpuji, segala tindakannya selalu dalam rangka ibadah, memperbanyak zikr, menghindarkan diri dari segala yang dapat mengurangi kesucian diri, baik diri maupun batin. Seluruh jiwa (hati) hanya semata-mata untuk memperoleh tajalli, untuk menerima pancaran nur Ilahi. Apabila Tuhan telah menembus hati hambaNya dengan nurNya. Pada tingkat ini hati hamba Allah itu bercahaya terang benderang, dadanya terbuka luas dan lapang, terangkatlah tabir rahasia Ialam malakut dengan karunia rahmat itu. Pada saat itu jelaslah segala hakikat ketuhanan yang selama ini terdinding oleh kekotoran jiwanya.
KESIMPULAN
Manusia yang mampu mengosongkan hatinya dari sifat-sifat tercela (takhalli), dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji (tahalli), segala perbuatan dan tindakannya sehari-hari berdasarkan niat yang ikhlas. Ia ikhlas melakukan ibadah kepada Allah, ikhlas mengabdi kepentingan agamanya, maka rangkaian pendidikan mental itu disempurnakan pada fase tajali. Tajali berarti terungkapnya nur gaib untuk hati. Apabila Tuhan telah menembus hati hambaNya dengan nur-Nya. Pada tingkat ini hati hamba Allah itu bercahaya terang benderang, dadanya terbuka luas dan lapang, terangkatlah tabir rahasia Ialam malakut dengan karunia rahmat itu. Pada saat itu jelaslah segala hakikat ketuhanan yang selama ini terdinding oleh kekotoran jiwanya.
“Siapa bertasawuf tanpa kefaqihan (ilmu) sungguh zindik (sesat), siapa faqih namun tak bertasawuf sungguh fasik” (Imam Malik)
“Sing sopo weruh ing sariro sejati, yo iku weruh ing Pangerane.....”
DAFTAR PUSTAKA
As Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, PT Raja Grafindo Persada, jakarta, 1994.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar