Pemikiran pendidikan aliran Teosofi Transendental (Mulla Sadra)
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pemikiran Islam
Dosen pengampu : M.A. Fattah Santoso
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pemikiran Islam
Dosen pengampu : M.A. Fattah Santoso
Disusun Oleh :
Wah yudi (G000100052)
Suranto
(G00100068)
Ali Ma'ruf. F (G000100074)
Prodi
: TARBIYAH
FAKULTAS AGAMA
ISLAM
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SURAKARTA
SURAKARTA
2011
EKSISTENSIALISME PERSFEKTIF FILSAFAT MULLA SADRA
MUQADIMAH
Kesempurnaan manusia
adalah karena
ketidak sempurnaanya
itu, sehingga
ia selalu
bertanya,dan gelisah
akan hal-
hal yang
melingkupi kehidupanya,
realitas kosmologi
dan sebagainya.
Pertanyaan yang
paling dasar
adalah ketika
manusia gusar
tentang eksistensi
alam, siapakah
kita…?
yang melahirkan
tentang filsafat
manusia,s iapa
encipta kita
..? yang
melahirkan berbagai
pandangan tentang
konsep ketuhanan,
asal usul
alam semesta,
ia real
atau tidak
dan lain
sebagainya. Yang
muaranya adalah
berbicara tentang
eksistensi, wujud
(being).
dikatakan bahwa
persoalan wujud
adalah persoalan
yang sangat
penting dan
fundamental dalam
filsafat islam.
Perdebatan antara
kaum peripateik,
iluminisme, dan
transendentalisme mengenai
topik ini
merupakan perjalanan
panjang yang
terus-menerus mewarnai
ranah pemikiran
filsafat Islam
yang teramat
luas dan
dalam.
Dalam tradisi
Filsafat Islam,
wujud mempunyaipengertian
yang sangat
beragam, hal
ini tentu
di ilhami
oleh latar
belakang dan
model pemikiran
yang di
miliki oleh
para filusuf
Islam. Selain
wujud menjadi
pembahasan utama
dari segala
sesuatu, wujud
juga menjelaskan
berbagai realitas.
Wujud merupakan
salah satu
tema metafisika
yang banyak
melahirkan kontroversi
filosofis. karena
hakikatnya sangat
sulit untuk
bisa dipahami.
Orang seagama
filafatnya bisa
saja berbeda,
begitu sebaliknya,
orang yang
berbed agama,
bias saja
filsafatnya sama.
Namun kesamaan
filosofis biasanya,
hanyalah pada
gari besar
saja, Pada
uraian rinci
boleh jadi
terdapat perbedaan
yang mencolok.
Perbedaan itu
terjadi pada
tambahan pada
pandangan pokok
yang berbeda.
Itulah yang
bias kita
lihat pada
eksistensialisme Islam
pada pertengahan
abad-20.Kedua bentuk
eksistensialisme itu
sama-samamengatakan bahwa
eksistensi mendahului
esensi.Atau dengan
perkataan lain,wujud
lebih pokok
daripada hakikat.
Walaupu begitu
yang dipersoalakan
berbeda. Eksistensialisme
prancis abad
20 mempersoalkan
eksistensi dan
esensi manusia,
sedangkan eksistensialisme
iran abad
pertengahan mempersoalkan
eksistensi dan
eseni realitas
secara umum,
tertama tuhan1.
Dalam
makalah ini
penulis akan
membatasi pembahasan
tentang konsep
eksistensi (wujud)
yang di
bangun oleh
Mulla Sadrah.
Sekilas
Biografi Mulla
Sadra
Mulla Shadra
dilahirkan di
Syiraz pada
tahun 1572
M. Ia
berguru kepada
Mir Damad
dan Mir
Abu Al-Qasim
Findereski (w.
1640) di
Isfahan. Nama
lengkapnya Muhammad
ibn Ibrahim
Yahya Qawani
Syirazi, atau
sering disebut
Shadr al-Din
al-Syirazi atau
Akhun Mulla
Shadra. Diakalangan
murid-muridnya dikenal
dengan Shadr
al-Mtui‟allihin.
Ayahnya pernah
menjadi gubernur
wilayah Fars.
Status sosialnya
tersebut dan
sebagai anak
tunggal, ia
berkesempatan memperoleh
pendidikan yang
baik dan
penjagaan yang
sempurna di
kota kelahiranya.
Sebagai anak
yang cerdas,
ia mampu
dengan cepat
menguasai berbagai
ilmu pelajaran
yang diajarkan
kepadanya. Dalam
usia muda,
Mulla Shadra
melanjutkan studi
ke Isfahan,
sebuah pusat
budaya yang
penting untuk
dunia Timur
Islam pada
saat itu,
ia berguru
kepada teolog
Baha‟ al-Din
al-„Amili
(w. 1031
H/1622 M),
kemudian kepada
filsuf Peripatetik
Mir Abu
al-Qasm Fendereski
(w. 1050
H/1641). Tetapi
gurunya yang
paling utama
adalah seorang
filsuf-teolog bernama
Muhammad atau
lebih dikenal
dengan nama
Mir Damad
(w. 1041
h/1631 M),
yang merupakan
seorang penggagas
berdirinya pusat
kajian filsafat
dan teolog
yang kini
dikenal dengan
“aliran Isfahan”.
Guru inilah
yang gembira
dan berduka
mempunyai murid
seperti Mulla
Shadra, gembira
karena mempunyai
murid yang
cerdas, berduka
karena beliau
menyadari tulisan-tulisan
Mulla Shadra
mudah dipahami
daripada tulisan
Mir Damad.
Teman-teman seperguruan
Mulla Shadra
kalah bersaing
sehingga kurang
dikenal, akan
tetapi setelah
Mulla Shadra
meninggalkan Isfahan
menuju Kahak.
Mereka mulai
dikenal. Kahak
adalah sebuah
desa dipedalaman
dekat Qum.
Di Kahak
ia menjalani
hidup zuhud
dan pembersihan
hati dengan
melakukan latihan-latihan
rohani untuk
mencapai hikmat-I
illahi (Rahasia
Ilahi) atau
teosofi (theo
= Tuhan,
Sophia =
cinta). Dia
menjalani hidup
zuzhud selama
7 tahun,
tapi ada
riwayat yang
menyebutnya selama
11 tahun.
Jalan ini
dikritik oleh
ulama zahir
dan bahkan
ada yang
menuduhnya kafir.
Padahal, ia
orang shalih
yang tidak
mengabaikan kewajibannya
terhadap agamanya.
Hal diutarakan
dalam kata
pengantar kitabnya,
Asfa‟r
dan Sih
Ashl (semacam
authobiografi).
Sumbangan filsafat
Mulla Shadra
sangatlah banyak,
diantaranya karya
filsafat yang
paling berpengaruh
adalah Al-Masya‟ir
(Keprihatinan), Kasr
Asnam Al-Jahiliyah
(Menghancurkan Arca-arca
Paganisme), dan
“Empat Pengembaraan”
(Al-Asfar Al-Arba‟ah).
Lebih jauh
ia berkata:
“cahaya dunia
Ilahi berkilat
diatasku. .
. dan
dapat menyingkap
segala rahasia
yang tak
pernah kuduga
sebelumnya”.
Lambat laun,
ia mulai
sadar terikat
kewajiban untuk
memberikan kepada
orang lain
apa yang
telah ia
terima sebagai
hadiah dari
Tuhan. Hasil
karya itu
adalah hasil
karya yang
tadi. Jiwa
dari penciptaan
(al-khalq) menuju
realitas tertinggi
(al-haqq), kemudian
realitas melalui
realitas, dan
dari realitas
kembali ke
penciptaan, dan
akhirnya ke
realitas sebagaimana
yang mengejawantah
dalam penciptaan.
Atas desakan
masyarakat dan
permintaan Syah
Abbas II
(1588-1629), dari
dinasti Safawi.
Mulla Shadra
diminta menjadi
guru di
madrasah Allah
Wirdi Khan
yang didirikan
oleh gubernur
provinsi Fars
di Syiraz.
Di sini
pulalah ia
banyak mengahsilkan
karya. Hal
ini di
akui oleh
Thomas Herbert,
pengembara abad
11 H/17
M yang
pernah melawat
ke Syiraz
selama masa
hidup Shadra.
Herbert menulis
bahwa di
Syiraz terdapat
perguruan yang
mengajarkan filsafat,
astrologi, fisika,
kimia, dan
matematika yang
menyebabkannya termasyhur
di seluruh
Persia. Kesibukan
dalam mengajar
dan menulis
tidak menghalanginya
untuk menunaikan
ibadah haji.
Bahkan tujuh
di antaranya,
dilakukan dengan
berjalan kaki.
Namun dalam
perjalanan pulang
hajinya yang
ke-7 ia
jatuh sakit
dan meninggal
dunia di
Basrah pada
tahun 1050
H/1641 M.
Makamnya sangat
termasyhur di
kota itu.
Tampkanya, ketika
filosof yang
bernama Muhammad
dan bergelar
Sharuddin dan
lebih dikenal
dengan nama
Mullah Shadra
atau hanya
Shadra ini
muncul, filsafat
yang ada,
dan yang
umumnya diajarkan,
adalah tradisi
neoplatonik-peripatetik Ibn
Sina dan
para pengikutnya.
Pada abad
ke 6
H/ke 12
M, Suhrawardi
telah melakukan
kritik terhadap
beberapa ajaran
dasar parepatetisme.
Dialah yang
meletakkan dasar-dasar
bagi filsafat
Illuminasionis yang
bersifat mistis
(Hikmat al-Isyraq)
yang kemudian
memperoleh sejumlah
pengikut. Dalam
latar belakang
yang demikian
itulah sistem
pemikiran Mulla
Shadra yang
khas tumbuh,
yang kelihatannya
benar-benar berbeda
dari situasi
intelektual dan
spiritual pada
masanya.
Dalam mazhab
Isfahan, Mulla
Sadra tercatat
sebagai tokoh,
filosof yang
sangat tersohor,
kepopulerannya ditandai
oleh kepiawaiannya
dalam menguasai
ringkasan pemikiran
filsafat Islam
yang berkembang
dalam rentang
waktu 900
tahun dengan
pendekatan sintesis
akhir berbagai
mazhab filsafat
dan teologi
Islam (alam).
Bertumpu pada
ajaran al-Qur’an
dan al-Sunnah,
ucapaan-ucapan para
penguasa sebelumnya,
termasuk filsafat
peripatetik, iluminatif,
kalam sunni
dan syi’i
serta mazhab
gnosis, Mulla
Sadra membuat
sistesis secara
menyeluruh yang
selanjutnay dikenal
dengna teosofi
transedenden (al-hikmah
al-muta’aliyah).
Mulla Sadra
merasa yakin
bahwa ada
tiga jalan
terbuka bagi
manusia untuk
memperoleh pengetahuan;
wahyu, akal
dan intelektual
(‘Aql)
dan visi
batin atau
pencerahan (kasyf).
Dia berusaha
merumuskan sebuah
‘kebijaksanaan’ sehingga
manusia mampu
mengambil manfaat
dari ketiga
sumber tersebut.2
Eksistensialisme
Dalam Persfektif
Beberapa Filusuf
Dalam analisa
terminologi dapat
diketemukan bahwa
Wujud berarti
keberadaan yang
mempunyai tingkat
abstraksi yang
tinggi. Dengan
demikian dapat
dibedakan menurut
dimensi masing-masing,
bahwa wajd
sarat dengaan
pergumulan tasawuf,
sementara wujud
merupakan titik
tolak dari
filsafat yang
sering dibahas
dalam diskursus
kalam dan
filsafat Islam
sebagai mazhab
wujudiyah (existensialism)3.
Dalam pergumulan
filsafat Barat,
filsafat muncul
karena suatu
krisis, dan
krisis berarti
penentuan. Atau
dengan bahasa
lain, kehadiran
filsafat merupakan
bentuk krisis
ke krisis
yang lain.
Perkembangan selanjutnya,
kehadiran eksistensialisme
sebagai alternatif
dalam mengatasi
krisis yang
dikapling oleh
materialisme dan
idealiseme, maka
eksistensialisme adalah
cara orang
‘berada’ di
dunia. Kata
berada pada
manusia tidak
sama dengan
beradanya pohon
atau batu,
dan yang
dapat menjelaskan
secara filosofis
adalah aliran
eksistensialisme.4
Bentuk reaksi
ini dicetuskan
oleh tokoh
dari Denmark
Soren Kierkegaaard,
menurutnya. “Filsafat
tidak merupakan
suatu sistem,
tetapi suatu
pengekspresian eksistensi
individual”.
Karena manusia
merupakan pengambil
keputusan dalam
eksistensinya. Apapun
keputusan yang
diambil tak
pernah mantap
dan sempurna,
dan ingin
selalu eksis.
Yes, I
Percieve perfecly
that there
are two
possibilities, one
can do
either this
or that
(Ya, sejak
semula saya
menyaksikan bahwa
ada dua
kemungkinan, seorang
hanya bisa
melakuan apakah
ini ataukah
itu).5
Tokoh lain,
Jean Paul
Sartre (1905-1980)
mengatakan; bahwa
eksistensi manusia
mendahuli esensinya.
Pandangan ini
amat janggal,
sebab biasanya
sesuatu itu
harus ada
esensinya terlebih
dahulu sebelum
keberadaannya. Filsafat
eksistensialisme membicarakan
cara berada
di dunia
ini, terutama
cara berada
manusia. Dengan
kata lain,
filsafat menempatkan
cara wujud-wujud
manusia sebagai
tema sentral
pembahasannya. Cara
ini hanya
inheren dengan
manusia karena
manusialah yang
bereksitensi. Binatang,
tetumbuhan, bebatuan
dan lain-lain
memang ada,
tetapi keberadaan
mereka tidak
dapat disebut
bereksistensi.6
Menurut Armahedi
Mahzar. Eksistensialisme
telah digantikan
secara berturut
turut oleh
strukturalisme dan
pasca-strukturalisme.Pasca-
strukturalisme sebagai
varian dari
filsafat postmodern
yang pliralistik,relativistic
dsn snsrkiditu
telah membuang
semua bentuk
eksitensialisme modern.
Post-modernisme telah
membuang semua
esensi sehingga
yang tinggal
adalah eksistensi-
eksistensi yang
banyak yang
tak lain
dari benda-
benda matrial
di luar
dan di
dalam tubuh
kita. Tentu
pandangan ini
sangat controversial,karena
benda- benda
itu tanpa
esensinya, yaitu
gerak dan
interaksi antar
sesamanya sepertiyang
difahamioleh sains,
tak mungkin
melahirkan kehidupan,
manusia dan
bahkan pemikir-
pemikir post
modernis itu
sendiri.7
Dalam filsafat
Islam, filusup
pertama yang
mendudukan persoalan
eksistensi- esensi
secra berbeda-
dalmarti bahwa
salah satu
dari keda
modus wujud
serbamungkin(contingent)
itu ada
yang realitas
mendasar dan
ada yang
sekedar penempakan
adalah Mir.Damad
yang pada
ahirnya ia
lebih meyakini
bahwa kuiditas
sebagai
realitasmendasar(ashlah
al-mahiyah),
sedangkan sadhr
Al- Muta’allihin
memilih ashlahul-wujud
atau prinsip
kemendasaran eksistensi.
Al Muta’allinadalah
filusuf pertama
yang mengukuhkan
hakikat eksistensi
berdasarkan pijakan
diskursif dalam
Filsafat.8
Bangunan
teori wujud
dan teori
kemungkinan esensial
serta kemungkinan
eksistensial telah
banyak disinggung
oleh Muhammad
Baqir al-Shadr
(salah seorang
murid Mulla
Sadra).9Seluruh
bangunan pemikiran
filsafat ini
muncul dari
refleksi dan
renungan Shadr
al-Dien Muhammad
al-Syirazy yang
populer disebut
Mulla Sadra,
dan dalam
beberapa manuskrip
Persia, tulisannya
diketemukan sebagai
basis-basis shadariyah.
Mulla Sadra
membahasnya secara
tuntas dalam
magnum opus-nya
al-Hikmah al-Muta’aliyah
Fi’al-Asfar
al-Aqliyah al-Arba’ah.
Bila ditelusuri
bangunan pemikiran
filsafat wujudiyah
di atas,
ternyata memiliki
mata rantai
dengan arus
isyraqiyah yang
dilepas oleh
al-Suhrawardi al-Maqtul
secara tipikal
sarat dengan
pergumulan pemikiran
Syi’ah.
Diantara para
filososf yang
merespon dan
melanjutkan perspektif
Isyraq diatas
antara lain
; Mir
Damad (w.
1631), baha’
al-Dien ‘Amili
(w. 1621),
keduanya merupakan
tokoh yang
amat terkenal
dalam periode
safawi, Shadr
al-Dien al-Syirazy
(w. 1641)
yang populer
disebut dengan
Mulla Sadra,
dan diproklamirkan
sebagai seorang
filosof terbesar
di zaman
modern Persia.10
Mulla Sadra
secara meyakinkan
membangun pemikirannya
melalui pendekatan
sintesis; antara
al-isyraq (illuminatif),
massya’i
(peripatetik), ‘irfan
(gnosis), dan
kalam (teologi).
Semua bangunan
pemikiran di
atas menjadi
karakteristik setting
pemikiran Isfahan
pada zaman
Safawi. Titik
puncak pemikirannya
terletak di
tangan Muhammad
Sadaruddin al-Syirazi,
atau Sadr
al-Muta’allihin,
yang sangat
populer di
kalangan filosofis,11
Eksistensialisme
Mulla Sadra
Dalam perkembnagan
filsafat di
wilayah Islam
timur setelah
pembedaan ibnu
Sina mengemukamengenai
esensii dan
wujud, persoalan
mengenai yang
mana dari
keduanya yang
merupakan relaitas
uatama memainkan
peranpenting.Kebanyakan
Filosuf atas
nama “esensialisme”
berarguen bahwa
wujud, karena
kedudukanya sebagai
sifat yang
umum dari
segala yang
ada,yaitu dri
konsep yang
paing umum
hanyalah memiliki
realitas sebagai
konsep skunder
(ma’qul
tsani) yang
tidak mempunyai
hubungan sesuatu
yang nyata.
Filusuf “Illuminasionis”,
al- Suhrawardi
khususnya, menentang
keras faham
realitas wujud.
Alasanya jika
kita menganggap
wujud sebgai
sifat esensi
yang sesungguhnya,
sesuai dengan
pendapat ibnu
sina, maka
esensi, agar
memiliki sifat
ini, harus
ada sebelum
wujud12.Dalam
hal ini
terdapat kesalahan
dalam memahami
Ibnu Sina.
Ia justru
menegaskan bahwa
wujud tidak
hanya sekedar
sifat, melainkan
wujudlah satu-
satunya hakikat
atau realitas
yang di
miliki Tuhan,
sedangkan segala
sesuatu bagi
yang mungkin,wujud
itu diturunkan
dari atau”
dipinjamkan”oleh
Tuhan dan,
dengan demikian,
sebagai “ tambahan”bagi
esensi mereka,
tapi buan
sebaga ambahan
dari hal-
hal particular
yang ada.
Al- Suhrawardi
lebih jauh
menegaskan bahwa
jika wujudmerupakan
bagian pokok
dari realitas
eksternel, maka
wujud harus
mengada dan
wujud ke
dua ini,pada
giliranya, juga
harus m
engadadan seterusnya
ad infinitum.
Ia kemudian
mengungkapkan prinsip
umum bahwa
setiap konsep
yang sangat
umum (
seperti eksistensi,
kesatuan, kepastian,
kemungkinan dan
sebagainya), yang
hakikatnya sedemikian
sehingga jika
suatu factor
atau bentuk
yang bersesuaian
denganya diasumsikan
ada dalam
relitas eksternal,
maka ini
akan mengantarkanya
pada penurunan
yang takterbatas.Dengan
demikian hanya
ada dalam
pikiranlah aanya.Tidak
dalam realitas
eksternal. Maka
apa yang
dibuktikan dalam
argument ini
adalah bahwa
wujud buaknlah
factor atau
sifat ekstra
dalam realitas
eksternal.13
Sadra dengan
keras menolak
pandangan bahwa
wujud tidak
bersesuaian dengan
apapun yang
terdapat dalam
realitas. Sebaliknya
dia mengatakan
bahwa tidak
ada yang
nyata yang
sebenarnya
kecuali wujud.
Tetapi wujud
srbagai satu-
satunya realitas
tidak pernah
ditangkap oleh
pikiran. Krenapikiran
hanya dapat
menengkap eensi
dan gagasan
umum wujud,
atau eksistensi
dan esensi.
Karena esensi
tidak mengada
per se,
tetapi hanya
timbul dalam
pikiran dari
bentuk- bentuk
atau mode-
mode wujud
partikulersehingga, dengan
demikian hanyalah
merupakan fenomena
mental yang
padaprinsipnya dapat
diketahui sepenuhnya
oleh pikiran,
Sebaliknya,gagasan umum
tentang eksistensi,
yang timbul
dalam pikiran
tidak dapat
mencerminkan atau
mengangkap hakikat
wujud, karena
wujud merupakan
realitas obyektif
dan transformasinya
ke dalam
konsep mental
yang abstrak
pasti mengandung
kesalahan. Dengan
kata lain,apa
yang ada
bersifat unik
dan particular,
karena itu
wujud tidak
dapat ditangkap
oleh pikiran
konseptual, sementara
eensi yang
ada pada
dirinya sendiri
adalah gagasan
umum, tidak
per se.
karena itu
esensi dapat
di diketahui
oleh pikiran.
Pandangan bahwa
wujud sendiri
yang emnciptakan
esensi menempatkan
shadra terpisah
dari aliran
peripatitik muslim
yang yakin
bahwabenda- benda
konkrit tersusun
dari esensi
dan eksistensi.
Maing- masing
mempunyai realitas
yang terpisah.
Pandangan ini
juga memisahkan
dirinya dari
pemikiran al-
Syuhrawardi dan
para pengikutnya,
yang meyakini
esensi sebagai
realitas,sedangkan wujud
hayalah abstraksi.Pandangan
Shadra lebih
jauh menjelaskan
dan membenarkan
ajaran yang
juga dibenarkan
oleh Aristoteles
dan para
Filusuf peripatitik,
bahwa wujud
bukanlah genus.
Aristoteles telah
menegaskan bahw
wujud tidak
dapat menjsdi
genus, karena
genus dan
deferiensia masing-
masing dapat
digambarkan sebagai
sesuatu yang
“ada” dank
e-ada-an” ini
meliputi segala
sesuatu,bqaik yang
konseptal maupun
yang real.
Bagi Shadra
wujud tidak
basa menjadi
genus atai
defrensia, karena
wujudlah yang
menciptakan semua
esensi.apapun ke”ada”an
abstrak yang
dimiliki oleh
esensi ,tidak
dimilioki oleh
mereka per
se- karena
esensi dalam
diri mereka
bukan “ada”
juga bukan
“tidak ada,
etapi karena
wujud mereka
maupun turunan
dari wujud
yang sebenarnya.
Dengan kata
lain, mereka
bernilai dengan
ke-ada-n ini
ketika menjadi
obyek pikiran14.
Mulla Sadara
membagi wujud
dalam beberapa
kateogi wujud
dan terutama
dalam karyanya
al-Ashfar al-Arba’ah
yaitu wujud
yang berkaitan
(al-wujud al-irtibati),
al-wujud al-nafsi
(self subsistent
being), yang
selanjutnya dikaitkan
dengan statemen
yang mengemukakan
bahwa “man
is a
rational animal”.
Kategori ini
lalu dibagi
menjadi tiga:
substansi (jauhar0,
aksiden (‘ard)
dan semua
wujud yang
berskala wujud
al-rabit (connectibe
being) bagi
semua wujud
selain Tuhan.
Dalam menangkap
persoalan wujud,
Mulla Sadra
menekankan persoalan
mendasar dan
penting menjadi
tiga yaitu;
wajib (necessary),
mungkin (possible),
dan mumtani’
(impossibel). Dengna
demikian pada
gilirannya menurut
Mulla Sadra
wujud memiliki
pembagian-pembagian yang
dipertautkan dengan
spesis-spesis (al-nau‘
wa al-rutbah).
Dengan bahasa
lain, maujud
dapat dibagi
menjadi beberap
kelompok (Sebagai
contoh, dibagi
menjadi obyektif
dan subyektif,
wajib dan
mungkin, abadi
dan diciptakan
pada waktu
tertentu, tetap
dan berubah,
tunggal dan
jamak, potensi
dan aksi,
serta substansi
atas aksiden).
Tentu saja
ini merupakan
pengelompokkan secara
primer, yaitu
pengelompokkan atas
maujud menurut
kenyataan kemaujudannya15.
Filosof yang
mengkaji tentang
wujud secara
kosmologik, mengatakan
bahwa gagasan
atau konsep
yang kita
nilai dianggap
sebagai subyek,
dan predikatnya
akan berada
dalam salah
satu dari
tiga kategori
di atas.
Relasi wujud
dengan gagasan
atau konsep
bisa bersifat
wajib; yaitu
sesuatu itu
wajib ada.
Kita kemudian
menyebutnya dengan
wujud yang
niscaya (wajib
al-wujud). Filsafat
ini membicarakan
tentang Tuhan
melalui pendekatan
burhanu31dari wajib
al-wujud. Bukti-bukti
filosofis memperlihatkan
bahwa ada
suatu wujud
yang baginya,
ketiadaan adalah
absurd dan
keberadaan adalah
wajib. Jika
relasi wujud
dengan gagasan
bersifat mustahil,
dan kehadirannya
bersifat absurd
dan keberadaan
adalah wajib.
Jika relasi
wujud dengan
gagasan bersifat
mustahil, dan
kehadirannya bersifat
absurd, jika
menyebutnya wujud
mustahil, misalnya
bangun kubus
yang sekaligus
berbentuk bola.
KESIMPULAN
Bagi Shadra
wujud tidak
basa menjadi
genus atai
defrensia, karena
wujudlah yang
menciptakan semua
esensi.apapun ke”ada”an
abstrak yang
dimiliki oleh
esensi ,tidak
dimilioki oleh
mereka per
se- karena
esensi dalam
diri mereka
bukan “ada”
juga bukan
“tidak ada,
etapi karena
wujud mereka
maupun turunan
dari wujud
yang sebenarnya.
Dengan kata
lain, mereka
bernilai dengan
ke-ada-n ini
ketika menjadi
obyek pikiran.
PENUTUP
Demikian makalah
ini saya
buat,walau dari
konten masih
salin sana
sin, tapi
itulah dianamika
menulis, sehingga
bsas maksimal
dalam belajar,
Di samping
in sebagai
ruang belajar
yang takan
brhenti.
DAFTAR
PUSTAKA
http://zaedibasiturrozak.blogspot.com/2011/06/eksistensialisme-persfektif-filsafat.html
1Armahedi
Mahzar (Pengantar),
Fajlurrahman, Filsafat
Sadra (Terj),
Bandung, Penerbit
Pustaka, 1975,
hlm. v
2Ahmad
Tafsir, Filsafat
Umum. Akal
& hati
Sejak Thales
Dan James,
Bandung :
Remaja Rosdakarya
cet. Iii1993.hlm.192
4Seyyed
Hossein nasr,
Menjeleajah Dunia
Modern
Bimbingan
untuk Kaum
Muda Muslim
Bandung: Mizan,
1994. hlm.90
8Murthada
Mutahhari, Pengantarpemikiran Shadra
Filsafat Hikmah, terj,
Bandung: Mizan,2002, hlm. 81
9Muhammad
baqir al Shadr, Falsafatuna, (terj.) Nur Mufid. Bandung:
Mizan, 1991. Hlm. 216-221
10Majid
Fakhry, Sejarah Filasafat Islam,
terj. Mulyadi Kartanegara, Jakarta : Dunia Pustaka Jaya.
1987).hlm.419
11Ibid
12Fajlurrahman,
Filsafat Sadra (Terj), Bandung, Penerbit
Pustaka, 1975, hlm. 35
13ibid
14bid
15Murtadha
Muthahari, Tema-tema Penting Filsafat
Islam , terj. Rifa’i hasan & Yuliani,
Bandung: Mizan , 1993.hlm. 55
ahsan. . . . (ijin copas, boleh toh?!)
BalasHapus